(IslamToday ID) – Filipina membatalkan keputusannya untuk mengakhiri perjanjian militer penting dengan Amerika Serikat (AS) saat ketegangan teritorial dengan China memanas di Laut Cina Selatan.
“Presiden Rodrigo Duterte telah memutuskan untuk mempertahankan Perjanjian Pasukan Kunjungan (VFA) sehubungan dengan perkembangan politik dan lainnya di kawasan ini,” kata Sekretaris Urusan Luar Negeri Filipina, Teodoro Locsin Jr dalam sebuah posting media sosial, Selasa (2/6/2020).
Perjanjian tersebut, yang ditandatangani pada tahun 1988, memberikan kewenangan pada pesawat dan kapal militer AS untuk masuk ke Filipina dan bebas visa bagi personel militernya.
Pemerintah Filipina menyampaikan pemberitahuan 180 hari kepada AS untuk mengakhiri kesepakatan pada Februari, menunjukkan bahwa Manila perlu mengandalkan sumber dayanya sendiri untuk pertahanannya. Pada Selasa, AS menyambut baik perubahan itu.
“Aliansi lama kami telah memberi manfaat bagi kedua negara, dan kami berharap untuk melanjutkan kerja sama keamanan dan pertahanan yang erat dengan Filipina,” kata sebuah pernyataan dari Kedutaan Besar AS di Manila.
Filipina pernah menjadi rumah bagi dua pangkalan militer terbesar AS yakni Pangkalan Udara Clark dan Stasiun Angkatan Laut Subic Bay.
Meskipun itu tidak lagi menjadi pangkalan AS di awal 1990-an, pasukan AS masih memiliki akses di bawah VFA. Dan Manila mempertahankan hubungan militer yang kuat dengan Washington.
Tetapi selama beberapa tahun terakhir, Duterte telah memalingkan hubungan historisnya dengan AS dan pindah ke China, yang telah menawarkan hubungan ekonomi yang lebih dekat dengan Manila.
“Saya butuh China. Lebih dari siapapun pada saat ini, saya butuh China,” kata Duterte sebelum terbang ke China pada April 2018.
Dibandingkan dengan para pendahulunya, Duterte melihat perselisihan wilayah Filipina di Laut Cina Selatan lebih bisa dinegosiasikan.
Baik Filipina dan China, masih ada beberapa negara yang bertikai terkait klaim wilayah Laut China Selatan. China mengklaim hampir 1,3 juta mil Laut China Selatan miliknya, meskipun itu ditentang sejumlah negara sehingga menjadi sengketa.
Tahun lalu, Duterte mengatakan ia telah ditawari saham pengelolaan energi bersama oleh Presiden China Xi Jinping sebagai imbalan karena mengabaikan arbitrase internasional yang menguntungkan Manila di Laut China Selatan.
Pada tahun 2016, pengadilan di Den Haag memutuskan mendukung Filipina dalam sengketa maritim. China dianggap tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim sebagian besar Laut China Selatan. China, bagaimanapun, telah meningkatkan militernya di pulau-pulau yang juga diklaim oleh Manila.
Dalam dua bulan terakhir, Tentara Pembebasan Rakyat China telah memindahkan kapal selam canggih dan pesawat pengintainya ke Fiery Cross Reef, yang dikenal sebagai Kagitingan di Filipina.
Beijing juga menjadikan Fiery Cross sebagai bagian dari Provinsi Hainan di selatan, menciptakan dua distrik administratif baru yang meliputi Laut China Selatan yang berkantor pusat di Kepulauan Paracel, kelompok pulau lain yang juga dipersengketakan.
Selain itu, China telah mempertahankan keberadaan kapal-kapal milisi maritimnya di sekitar Pulau Thitu, pulau pendudukan Filipina terbesar di kepulauan Spratly, selama lebih dari setahun.
Rata-rata 18 kapal China telah berkeliling pulau setiap hari, menurut analisis satelit AMTI yang diterbitkan pada Maret, sehingga menghambat upaya Filipina untuk membangun infrastruktur di sana. [wip]