(IslamToday ID) – Pada 2 Juni 2020, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam akan mengerahkan pasukan militer untuk menghadapi demonstrasi besar-besaran menuntut keadilan bagi Georger Floyd, warga kulit hitam yang tewas dicekik oleh polisi di Minneapolis.
Dikutip di Globalresearch, sikap Trump itu pun mengejutkan banyak orang. Tetapi, untuk menghadapi para demonstran polisi telah menggunakan gas air mata yang sebenarnya dilarang dalam hukum internasional.
Di seluruh negara, petugas kepolisian menggunakan gas air mata dalam upaya untuk membubarkan demonstran. Sementara para pejabat AS memiliki sejarah menggunakan gas air mata sebagai “alat kontrol kerusuhan”.
Padahal, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS telah mendefinisikan gas air mata sebagai senyawa kimia yang dapat menyebabkan iritasi pada mata, mulut, tenggorokan, paru-paru, dan kulit. Gas air mata dilarang dalam perang internasional melalui Konvensi Senjata Kimia pada tahun 1997.
Konvensi ini merupakan perjanjian yang diikuti oleh 193 negara melalui Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) yang berkantor di Belanda. Tujuan konvensi itu untuk melenyapkan senjata pemusnah massal dalam peperangan internasional dengan cara melarang produksi, penimbunan, dan penggunaan senjata kimia.
OPCW mendefinisikannya sebagai bahan kimia yang jika digunakan akan menyebabkan kematian atau kerusakan karena memiliki sifat racun. Gas air mata mengiritasi sistem pernapasan, kulit, dan mata, yang dapat menyebabkan hilangnya penglihatan dan gangguan pernapasan. Gas air mata masuk dalam klasifikasi senjata kimia, sehingga jika digunakan bisa menyebabkan kematian (seperti ketika digunakan selama Perang Dunia I).
Namun, di bawah Pasal II Bagian 9 dari konvensi tersebut, senyawa-senyawa kimia yang digunakan untuk tujuan pengendalian kerusuhan dalam negeri oleh penegak hukum tidak dilarang. Karena penegak hukum AS mengklaim menggunakan gas air mata sebagai cara untuk membubarkan kerumunan massa. Gas tersebut tidak menyebabkan kematian atau kerusakan, dan telah digunakan secara luas oleh petugas kepolisian di seluruh negara.
Selain peraturan internasional yang membatasi penggunaan gas air mata dalam peperangan, AS tidak memiliki peraturan tentang penggunaan gas air mata di dalam negeri, serta tidak memerlukan pelatihan bagi petugas yang menggunakannya.
CDC melaporkan bahwa paparan gas air mata yang lama, terutama di lokasi tertutup, dapat menyebabkan efek jangka panjang, seperti masalah mata seperti glaukoma dan katarak, serta masalah pernapasan seperti asma.
ProPublica juga melaporkan bahwa bahan kimia tersebut dapat membuat orang lebih rentan tertular flu, pneumonia, dan penyakit lainnya.
Terlepas dari risiko ini, pada Senin (8/6/2020) malam aparat penegak hukum federal membubarkan pengunjuk rasa damai di depan sebuah gereja di Washington DC. Gedung Putih mengklaim pembubaran massa itu menggunakan semprotan merica, bukan gas air mata.
Namun CDC menyatakan iritasi yang ditimbulkan itu adalah karena gas air mata. Kemudian ketika memasuki hari ke 10 aksi demonstrasi, meskipun berlangsung secara damai, gas air mata masih saja digunakan untuk menghalau demonstran. [wip]