(IslamToday ID) – Untuk mengatur kembali hubungan kedua negara dalam berbagai aspek, Amerika Serikat (AS) dan Irak sedang bernegosiasi untuk kesepakatan strategis baru.
AS dan Irak memulai dialog strategis 11 Juni, yang diadakan melalui konferensi video karena pandemi COVID-19. Dialog tersebut diusulkan pada bulan April oleh Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo.
Para pejabat keamanan Irak mengatakan roket Katyusha menghantam Zona Hijau pada malam 10 Juni, hanya beberapa jam sebelum perundingan dimulai. Tidak ada korban jiwa yang dilaporkan.
Meskipun AS dan Irak sebelumnya menandatangani perjanjian keamanan yang mengakhiri kehadiran pasukan AS di Irak pada akhir 2011, Irak meminta bantuan militer AS pada 2014 ketika ISIS menduduki sepertiga wilayah Irak.
Selanjutnya, AS memimpin koalisi di Irak untuk membantu memerangi ISIS. Setelah kekalahan ISIS, AS meninggalkan sekitar 5.000 tentara membantu Irak menjaga keamanan.
Ketegangan AS dan Irak mencapai puncaknya pada awal tahun ini dengan terbunuhnya komandan Iran, Qassem Soleimani, pemboman Iran terhadap pasukan AS di pangkalan Ain al-Asad di Irak, dan pemilihan oleh partai-partai Syiah di parlemen Irak untuk mengakhiri kehadiran pasukan AS di negara itu. Kurdi dan Sunni memboikot sesi parlemen sebagai tanda keberatan.
Setelah pemungutan suara parlemen, Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi meminta AS untuk berdialog dengan Irak mengenai pengiriman pasukan AS. Namun, Presiden AS Donald Trump menolak mengirimkan pasukan dan mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap Irak jika meneruskan keputusannya itu.
Perdana Menteri Irak yang baru Mustafa al-Kadhimi memasukkan dialog strategis dengan AS sebagai agendanya untuk disampaikan kepada parlemen. Rencana itu, yang disetujui oleh parlemen, tidak menyebutkan hengkangnya pasukan AS dari negara itu.
Delegasi Irak untuk berdialog itu termasuk lima diplomat dan pejabat Irak. Mereka adalah Wakil Menteri Luar Negeri Abdul Karim Hashem, mantan Dubes Irak untuk AS Lukman Faili dan Fareed Yasseen, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Hamid Khalaf, dan Harith Hasan, penasihat perdana menteri.
Pompeo mengatakan bahwa AS akan dipimpin oleh wakilnya untuk urusan politik, David Hale. Menurutnya, semua masalah strategis antara AS-Irak akan menjadi agenda, termasuk kehadiran pasukan AS di masa mendatang di negara itu. AS juga mendukung Irak yang independen dan berdaulat.
Dialog tidak akan terbatas pada kehadiran militer AS di Irak dan kerja sama keamanan, tetapi juga akan mencakup kerja sama dalam bidang keuangan, ekonomi, sosial, politik, dan energi.
AS telah memberi Irak potongan 120 hari atas sanksi AS untuk impor gas alam dan listrik dari Iran. Sementara pada saat yang sama berharap Irak menemukan sumber energi alternatif. Namun, Irak baru saja menandatangani perjanjian dengan Iran untuk terus mengimpor gas dan listrik selama dua tahun ke depan. Ini bisa menjadi penghalang besar untuk mencapai kesepakatan, kecuali Irak menunjukkan telah mulai melakukan pencarian dan memiliki jadwal serta rencana yang jelas.
Masalah sulit lainnya adalah mengakhiri kehadiran pasukan AS dan membongkar milisi yang didukung Iran.
Milisi pro-Iran di Irak memperingatkan pemerintah Kadhimi bahwa dialog harus fokus hanya pada kepergian pasukan AS dari negara itu. Mereka menuduh pemerintah membuat pilihan yang meragukan dalam pemilihan anggota untuk delegasi Irak.
Pada 10 Juni, beberapa jam sebelum pembicaraan dimulai, blok parlemen Fatah yang berafiliasi dengan Unit Mobilisasi Populer (PMU) mengeluarkan pernyataan tentang dialog tersebut.
“Kita merasa wajib untuk mengingatkan kepala dan anggota delegasi perundingan Irak tentang pemilihan parlemen dengan suara bulat yang menekankan perlunya pasukan asing untuk meninggalkan Irak,” bunyi pernyataan itu.
Blok Fatah juga merekomendasikan bahwa delegasi Irak mendapat manfaat dari pengalaman negosiasi Irak-AS yang terjadi pada 2008 dan berakhir dengan penarikan pasukan AS dari Irak.
Kurdi dan Sunni Keberatan
Pada 8 Juni, Abu Ala al-Walai (juga dikenal Hashim Bunyan al-Siraji), komandan Kataib Sayyid al-Shuhada, dalam tweetnya mengatakan, “Tugas utama tim negosiasi saat ini, yang dipilih oleh pemerintah Irak, sangat meragukan. Menunda penarikan penjajah Amerika hingga akhir tahun itu sama sekali tidak bisa diterima.”
Abu Ali al-Askari, seorang pejabat keamanan untuk Brigade Hizbullah Irak, mentweet, “Kami terkejut dengan penunjukan kelompok untuk bernegosiasi dengan Amerika, di mana sebagian besar dari mereka sejalan dengan proyek Amerika di negara itu.”
Askari menyerukan untuk mengganti beberapa anggota yang dikenal karena kesetiaan mereka kepada AS. Ia meminta dimasukkannya salah satu pemimpin PMU dan seorang tokoh suku dalam tim negosiasi.
Di sisi lain, gerakan al-Hikma Ammar Hakim dan Koalisi Nasr mantan Perdana Menteri Haider al-Abadi menyerukan untuk menggunakan dialog untuk kepentingan Irak dalam semua aspek.
Hikma mengingatkan delegasi tentang nasihat ulama Shite, Ayatollah Ali Sistani, bahwa keputusan untuk mengakhiri kehadiran pasukan AS di Irak diserahkan kepada pemerintah terpilih berikutnya.
Kurdi dan Sunni telah menyatakan keberatan mereka atas kepergian pasukan AS dari Irak, dan telah menunjukkan minat untuk meningkatkan hubungan dengan AS dengan berbagai cara.
Dalam keadaan seperti itu, dialog strategis tampaknya menjadi awal dari negosiasi jangka panjang untuk mengakhiri kehadiran pasukan AS di negara itu.
Ini menunjukkan bahwa dialog strategis dapat berlanjut sampai akhir tahun karena masalah-masalahnya cukup rumit, termasuk kehadiran pasukan AS dan aktivitas milisi yang didukung Iran di Irak. [wip]