(IslamToday ID) – Turki dan Amerika Serikat (AS) bisa bekerja sama dan memulai hubungan baru di konflik Libya. Hal itu dikatakan oleh Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan setelah melakukan pembicaraan via telepon dengan Presiden AS Donald Trump.
Erdogan mengatakan kemungkinan akan mengesampingkan upaya diplomatik dengan pemberontak Khalifa Haftar untuk mencapai perdamaian.
Dalam sebuah wawancara dengan penyiar negara bagian pada Senin (8/6/2020) malam, Erdogan mengatakan Trump mengakui keberhasilan Turki dalam menyelesaikan konflik di Libya. Di mana masuknya tentara NATO untuk mendukung pemerintah Fayez al-Sarraj yang diakui secara internasional telah secara dramatis mengubah perang.
“Sebuah periode baru dapat dimulai antara AS dan Turki mengenai proses di Libya. Kami memiliki beberapa perjanjian selama pembicaraan kami, dan langkah seperti itu bisa diambil,” kata Erdogan tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Sebuah pernyataan dari Gedung Putih mengatakan kedua pemimpin membahas konflik Libya, Suriah, dan wilayah Mediterania Timur, tetapi tidak menjelaskan lebih rinci.
AS sejauh ini tetap berada di luar perseteruan sejak Tentara Nasional Libya (LNA) Haftar melancarkan serangan tahun lalu untuk merebut ibukota Tripoli yang menewaskan ratusan warga sipil. Negara yang kaya energi itu telah dilanda kekerasan sejak 2011, ketika mantan pemimpin Moammar Gadhafi digulingkan dengan dukungan NATO.
Sekarang, upaya internasional untuk menyelesaikan pertikaian antara pasukan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Feyez al-Sarraj dan LNA, yang mendapat dukungan dari Uni Emirat Arab, Mesir, dan Rusia, semakin rumit.
Erdogan bertemu Sarraj di Turki pekan lalu, sementara para pejabat LNA mengadakan pembicaraan di Mesir yang menghasilkan seruan untuk gencatan senjata. Pasukan sekutu Sarraj menolak gencatan senjata yang diusulkan, karena dinilai hanya menghambat langkah GNA yang sebelumnya memetik kemenangan besar setelah merebut kembali Tripoli dari tangan pasukan Haftar.
“Area paling vital telah direbut kembali dan kemajuan terus berlanjut. Haftar menjadi gila karena daerah-daerah ini berada di bawah kendali Sarraj,” kata Erdogan. “Perkembangan menunjukkan kepada saya bahwa Haftar bisa ditekan kapan saja.”
Menurut Erdogan, Haftar mendapatkan semua kekuatannya dari Rusia tetapi sekarang berkurang. Turki melihat penguasaan terhadap daerah dengan cadangan gas alam dan minyak melimpah itu sangatlah penting dan ini mengganggu Rusia. Ia pun berencana untuk segera berdialog dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Putin memuji upaya Mesir untuk menengahi dengan usulan gencatan senjata. Sementara menteri luar negerinya setuju dengan mitranya dari Turki untuk berkolaborasi dalam proses perdamaian. [wip]