(IslamToday ID) – Bendungan Renaissance di Ethiopia dianggap penting untuk mengamankan kebutuhan energi di negara itu, sementara Kairo (Mesir) dan Khartoum (Sudan) percaya itu akan mengurangi aliran air di hilir.
Seorang pejabat senior Ethiopia telah memperingatkan Mesir tentang kemungkinan perselisihan yang terjadi, bahkan bisa berujung perang di Sungai Nil.
Jenderal Birhanu Jula menuduh para pemimpin Mesir mendistorsi narasi tentang proyek Bendungan Renaissance Ethiopia (GERD).
Proyek yang akan menelan biaya hampir 5 miliar dolar AS itu akan sangat membantu Ethiopia dalam hal pasokan energi listrik dari pembangkit tenaga air Sungai Nil Biru, salah satu anak Sungai Nil.
Namun, Mesir khawatir bendungan pembangkit listrik tenaga air itu akan mengurangi debit aliran Sungai Nil sehingga wilayahnya rentan dengan kekeringan dan kelangkaan air.
“Orang Mesir dan seluruh dunia tahu betul bagaimana kita siap berperang kapanpun itu,” kata seorang wakil kepala pasukan militer Ethiopia.
Pernyataan tersebut sangat bertolak belakang dengan sikap Perdana Menteri Ethiopia dan Peraih Nobel, Abiy Ahmed bahwa negaranya tidak ingin melukai orang lain dalam pengerjaan proyek energi itu.
Namun hal itu menjadi pertaruhan dirinya, karena jika terjadi konflik maka ini adalah konflik pertama di dunia terkait air.
Sebuah kesepakatan yang dimediasi AS dan Bank Dunia, yang mengejutkan di mana bendungan memakai mekanisme perlindungan selama periode kekeringan telah disepakati semua pihak, namun hanya Mesir yang mau tanda tangan.
Mesir Memiliki Hak
Mesir menyatakan Ethiopia memiliki waktu sehingga dapat mulai mengisi bendungan pada awal bulan depan, sementara Ethiopia mengatakan telah membatalkan perjanjian untuk berkonsultasi.
Mesir, Ethiopia, dan Sudan telah mencapai kesepakatan pada awal 2020, tetapi ketetapan waktu itu harus ditinjau ulang.
Pada perjanjian 1929 menyatakan Mesir memiliki hak untuk memantau penggunaan Sungai Nil oleh negara-negara di hulu, serta memveto setiap proyek yang dapat menimbulkan risiko terhadap debit airnya.
Tetapi perjanjian itu dipandang tidak sah dan tidak adil oleh negara-negara lainnya, karena negara tersebut masih di bawah naungan penjajah Inggris. Negara seperti Ethiopia, tidak pernah mencantumkan nama mereka dalam perjanjian itu.
Perjanjian Perairan Nil tahun 1959 juga secara sepihak mengkonsolidasikan kontrol Mesir dan Sudan atas Sungai Nil.
Mesir menyatakan bahwa berkurangnya aliran air di Sungai Nil akan berdampak pada ketersediaan air untuk rakyatnya. Bendungan Ethiopia seluas 74 miliar meter kubik berpotensi menghadirkan ancaman itu.
Sekitar 96 persen wilayah Mesir berada di gurun dengan penduduk berjumlah 100 juta. Negara ini bergantung pada Sungai Nil untuk 90 persen kebutuhan airnya.
Karena berbagai faktor, termasuk urbanisasi dan perubahan iklim, Mesir kehilangan lahan subur yang dibutuhkan untuk memberi makan penduduknya.
Diperkirakan, kehilangan 1 miliar kiloliter aliran Sungai Nil dapat menyebabkan hilangnya 200.000 hektare dan secara langsung mempengaruhi 2,5 juta orang yang bergantung pada industri pertanian.
Faktor Sudan
Sampai kudeta militer 2013 yang menggulingkan pemimpin Mesir yang dipilih secara demokratis, Mohamed Morsi, Khartoum masih memihak Kairo pada masalah bendungan.
Namun, Sudan telah berubah haluan ke Ethiopia karena energi yang diciptakan oleh bendungan pembangkit listrik tenaga air itu juga cenderung menguntungkan negaranya.
Ethiopia berharap surplus karena bisa menjadi pengekspor energi hidroelektrik ke negara-negara tetangga di Afrika.
Keengganan Sudan untuk mengambil sikap lebih keras terhadap Ethiopia, berarti opsi militer menjadi pilihan Mesir terhadap Ethiopia.
Negara tersebut telah membangun hubungan dengan Eritrea, negara tetangga Ethiopia untuk kemungkinan membangun pangkalan militer di negara itu. Namun yang menjadi pertanyaan, Ethiopia baru-baru ini memperbaiki hubungannya dengan Eritrea dan mengakhiri perang yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Kurang adanya pilihan yang menguntungkan telah menyebabkan pejabat Mesir menuduh Ethiopia menahannya sebagai “sandera”. [wip]