(IslamToday ID) – Amerika Serikat (AS) menuding perusahaan-perusahaan besar asal China termasuk Huawei dimiliki dan dikendalikan oleh militer Negeri Tirai Bambu.
Pemerintah AS sebelumnya memasukkan Huawei dan Hanzhou Hikvision dalam daftar hitam di tahun 2019, karena dianggap menimbulkan masalah keamanan nasional.
Dikutip dari Reuters, dalam Dokumen Departemen Pertahanan (DOD) terdapat 20 perusahaan yang beroperasi di AS yang kemudian dituduh dikendalikan oleh militer China.
Dalam dokumen DOD tersebut terdapat juga perusahaan seperti China Mobile Communications Group, China Telecommunications, serta produsen pesawat terbang Aviation Industry Corp of China.
Departemen Pertahanan AS menyusun daftar tersebut berdasarkan undang-undang tahun 1999. Tindakan Departemen Pertahanan AS itu tidak memicu hukuman, tetapi aturan hukum mengatakan presiden dapat menjatuhkan sanksi yang dapat memblokir semua properti dari pihak yang ada dalam daftar.
Huawei, China Mobile, China Telecom, AVIC, dan Kedutaan Besar China di Washington tidak menanggapi permintaan komentar. Perusahaan Hikvision menyebut tuduhan itu tidak berdasar dan menyatakan tidak bekerja sama dengan militer China.
September 2019 lalu, Senat Demokrat AS Chuck Schumer, Senator Republik Tom Cotton, dan Perwakilan Republik Mike Gallagher menulis surat kepada Menteri Pertahanan Mark Esper. Mereka membahas keprihatinan atas Beijing yang menggunakan teknologi sipil untuk kepentingan militer.
“Apakah Anda akan berkomitmen untuk memperbarui dan merilis daftar ini secara terbuka sesegera mungkin?” tanya mereka dalam surat tersebut.
Pada Rabu, 24 Mei 2020, para senator memuji dokumen DOD karena akhirnya merilis daftar perusahaan dan mendesak presiden untuk menjatuhkan sanksi ekonomi kepada perusahaan terdaftar. Gedung Putih tidak berkomentar apakah akan memberikan sanksi kepada perusahaan dalam daftar itu.
Tetapi seorang pejabat senior administrasi mengatakan daftar itu dapat dilihat sebagai alat yang berguna bagi pemerintah AS, perusahaan, investor, lembaga akademis, dan mitra serupa untuk melakukan pengujian.
Daftar perusahaan ini kemungkinan akan menambah ketegangan antara dua ekonomi terbesar di dunia, yang tengah berselisih tentang penanganan pandemi virus corona. Selain itu, ketegangan juga meningkat ketika China memberlakukan UU Keamanan Nasional di Hong Kong.
Pekan lalu, China mengancam akan membalas setelah Presiden Donald Trump menandatangani undang-undang yang menyerukan sanksi atas penindasan terhadap warga muslim Uighur.
Kemunculan daftar ini juga akan menyoroti hubungan perusahaan AS dengan perusahaan China serta operasi mereka di AS.
Tak Ada Kewajiban
Pada Juni 2019 lalu, pihak Huawei pernah menyatakan tidak memiliki kewajiban untuk bekerja sama dengan pemerintah China dalam bentuk apapun. Hal itu diungkapkan oleh kepala keamanan siber Huawei, John Suffolk kepada parlemen Inggris, seperti dikutip dari AFP dan Sky News.
Pernyataan Suffolk terkait dengan eksistensi undang-undang di China yang memungkinkan kerja sama perusahaan dengan pemerintah terkait masalah keamanan.
UU tersebut selama ini telah disorot pemerintahan Presiden AS Donald Trump dalam upaya untuk memaksa negara di dunia untuk mengeluarkan Huawei dalam rencana pengembangan jaringan 5G.
Seperti diketahui, Huawei saat ini menyediakan teknologi 5G paling canggih dan paling murah di dunia. “Tidak ada undang-undang di China yang mewajibkan kami untuk bekerja dengan pemerintah China dalam kondisi apapun,” kata Suffolk.
“Penasihat hukum kami menemukan bukan itu masalahnya,” imbuhnya.
Berbicara kepada komite sains dan teknologi parlemen Inggris, Suffolk menyebut para pengamat global salah menafsirkan hukum tersebut. Dia tidak menyangkal keberadaan UU tersebut, namun dia menilai ruang lingkupnya terbatas. Anggota komite Julian Lewis membacakan kembali UU di China yang kontroversial itu.
“Pemerintah China memiliki kekuatan untuk meminta lembaga, organisasi, dan warga sipil agar memberikan dukungan, bantuan, dan kerja sama yang diperlukan kepada lembaga keamanan China,” katanya. [wip]