(IslamToday ID) – Meningkatnya tindak kekerasan, kemiskinan, dan gelombang demonstrasi jalanan adalah sejumlah tantangan yang dihadapi pemerintah Mali. Ini masih ditambah dengan kekhawatiran meningkatnya ketegangan yang bisa mengguncang wilayah Sahel yang lebih luas.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi di Mali dan bagaimana negara itu sampai dengan detik ini?
Mali, sebuah negara yang berpenduduk sekitar 19 juta jiwa dan bertetangga dengan tujuh negara bagian di Afrika Barat. Mali telah dilanda konflik sejak 2012, ketika pejuang etnis Touareg melancarkan pemberontakan di wilayah utara negara itu.
Pemberontakan dengan cepat diambil alih oleh kelompok bersenjata yang menyerbu dan menguasai wilayah utara selama beberapa bulan. Mereka didesak mundur pada tahun berikutnya ketika Perancis, bekas penguasa kolonial, melakukan intervensi militer untuk mendukung pasukan Mali.
Presiden Ibrahim Boubacar Keita yang dikenal dengan IBK mulai berkuasa pada 2013 dengan harapan bisa mengubah negara itu. Namun, terlepas dari kehadiran ribuan pasukan asing, konflik di negara penghasil emas dan kapas itu malah semakin dalam.
Beberapa kelompok bersenjata telah menyerbu Mali tengah, serta ke Burkina Faso dan Niger yang berdekatan, sehingga memicu ketegangan etnis. Ribuan tentara dan warga sipil menjadi korban, sementara ratusan ribu lainnya telah diusir dari rumah-rumah mereka.
Delapan tahun setelah awal pemberontakan, serangan dan pembunuhan etnis adalah kejadian yang biasa, sebab sebagian besar wilayah itu masih di luar kendali pemerintah.
Mengapa Banyak Demonstrasi?
Dalam beberapa minggu terakhir, ibukota Mali, Bamako telah diguncang aksi demonstrasi besar-besaran yang menuntut mundurnya Presiden Ibrahim Boubacar Keita.
Keita terpilih kembali pada tahun 2018 untuk masa jabatan lima tahun kedua, yang dihadapkan pada kondisi krisis keamanan yang memburuk, pemogokan para guru, dan pandemi corona.
Digerakkan oleh aliansi oposisi yang dipimpin oleh Mahmoud Dicko, demonstrasi kembali bergelora setelah aksi serupa pada April 2019 melawan kekerasan dan pembantaian etnis yang memaksa perdana menteri saat itu mundur.
Pada 5 Juni, puluhan ribu orang turun ke jalan di Bamako dengan penuh kemarahan. Mereka memprotes kegagalan pemerintah dalam mengatasi persoalan kekerasan, kondisi ekonomi yang carut-marut, serta korupsi.
Pengamat mengatakan gelombang protes kali ini tampaknya lebih besar dari sebelumnya, karena saking banyaknya kebobrokan di semua bidang. “Sudah banyak orang yang muak,” kata Baba Dakono, analis politik yang berbasis di Bamako kepada kantor berita AFP.
“Anda telah mengecewakan para guru di jalanan, semua orang telah kehilangan jaminan keamanan, frustrasi oleh pelayanan yang buruk dan skandal yang selalu berulang,” kata Ibrahim Maiga, analis untuk think-tank Institute for Security Studies.
Bagaimana dengan Pemilihan Umum?
Lockdown akibat pandemi corona dan pemilihan umum telah meningkatkan ketegangan. Hingga saat ini, Mali, salah satu negara termiskin di dunia, terdata 2.005 orang positif terinfeksi Covid-19, 112 orang meninggal dunia, dan 1.354 orang sembuh.
Pada akhir Maret, pemerintah menggelar pemilihan umum parlemen meskipun ada ketakutan akan bahaya pandemi corona. Namun, tingkat partisipasinya rendah, sekitar 35 persen. Menjelang pemungutan suara yang akhirnya dimenangkan oleh partai Keita, dikacaukan oleh tuduhan pembelian suara dan intimidasi serta penculikan pemimpin oposisi, Soumaila Cisse.
Kemudian pada bulan April, pengadilan konstitusi Mali membatalkan hasil untuk sekitar 30 kursi, yang memicu protes di beberapa kota.
Seorang politisi yang berhasil meraih kursi karena keputusan itu adalah Moussa Timbine, seorang loyalis Keita yang kemudian terpilih sebagai ketua parlemen. Perselingkuhan politik menjadi perbincangan di banyak orang Mali.
Polling ditutup dalam pemilihan umum Mali meskipun ada ancaman kekerasan.
Pekan lalu, blok regional Afrika Barat ECOWAS mendesak Mali untuk menggelar kembali pemilihan lokal di beberapa tempat yang diperebutkan dan membentuk pemerintah persatuan nasional. “Pemilihan umum baru untuk daerah pemilihan harus diselenggarakan sesegera mungkin,” kata blok itu dalam sebuah pernyataan setelah misi dua hari ke negara itu.
Baba Dakono mengatakan politik di Mali mengalami krisis legitimasi, di mana hanya sedikit dari mereka yang terwakili oleh parlemen atau pengadilan konstitusi. Menjadi semakin tidak stabil, Keita juga telah berganti-ganti enam perdana menteri selama ia menjabat.
Menurut Ibrahim Maiga, oposisi Mali sebelumnya babak belur karena tidak memiliki sosok pemimpin yang berbakat.
Tetapi aliansi oposisi yang baru sekarang telah bergabung di belakang Dicko. Ia telah menyampaikan berbagai ketidakpuasannya terhadap pemerintah, melalui pesan-pesan nilai moral dan apa yang disebutnya “penghinaan” nasional Mali.
Tetapi para ahli mengatakan tujuan utamanya tidak jelas. Dicko adalah mantan sekutu Keita yang turut andil memenangkan pada pemilihan presiden pada 2013, namun kemudian berbalik menjadi lawan.
Brema Ely Dicko, seorang sosiolog, mengatakan Dicko merasa dijatuhkan setelah Keita menuduhnya sebagai perantara bagi kelompok-kelompok bersenjata. [wip]