(IslamToday ID) – Kelompok bersenjata yang didukung Iran membantah telah melakukan serangan dua roket yang menargetkan instalasi diplomatik dan militer Amerika Serikat (AS) di Irak pada Minggu (5/7/2020) malam.
Sejak Oktober 2019, para diplomat dan pasukan AS di Irak menjadi sasaran serangan roket. Washington menuding serangan itu dilakukan oleh faksi-faksi bersenjata pro-Iran.
Sebagai langkah awal, pasukan elite Irak pada akhir Juni menangkap belasan pejuang yang didukung Teheran. Mereka hendak melakukan serangan baru di Zona Hijau Baghdad, instansi bagi AS dan kedutaan asing lainnya.
Pejabat pemerintah Irak menyatakan serangan itu sebagai “pesan” untuk mencegah serangan di masa depan, namun pada Sabtu malam lebih banyak serangan diluncurkan.
Menurut militer Irak, satu roket yang ditembakkan di Zona Hijau mendarat di dekat sebuah rumah dan melukai seorang anak. Roket diluncurkan dari daerah Ali al-Saleh di Baghdad. Anak itu menderita cedera kepala dan rumahnya rusak.
“Pada saat yang sama, pasukan kami mampu menggagalkan serangan lain dan menyita roket dan peluncur Katyusha yang menargetkan Camp Taji di utara Baghdad, tempat pasukan koalisi pimpinan AS berpangkalan,” ungkapnya seperti dikutip di Aljazeera, Senin (6/7/2020).
Pada bulan Maret, dua warga AS dan satu tentara Inggris tewas setelah rentetan serangan roket di Camp Taji. Serangan itu terjadi sebelum Irak memulai pembicaraan strategis dengan AS, di mana kehadiran pasukan AS di negara itu diharapkan menjadi agenda utama.
Serangan juga terjadi hanya beberapa jam setelah kedutaan AS menguji sistem pertahanan roket baru yang dikenal sebagai C-RAM. C-RAM yang didirikan awal tahun ini di kedutaan, mampu memindai proyektil yang datang dan meledakkannya di udara dengan ribuan putaran ditembakkan per menit.
Serangkaian ledakan tak terlihat terdengar di seluruh Baghdad pada Sabtu malam ketika sistem itu diuji, membuat orang yang melintas bingung dan parlemen Irak marah.
Wakil Ketua Hassan Al-Kaabi mengecam pertemuan itu sebagai tindakan provokatif dan tidak dapat diterima karena membahayakan kondisi dalam negeri. Al-Kaabi meminta pemerintah untuk mengambil tindakan terhadap langkah “ilegal” yang akan memprovokasi rakyat Irak.
Tidak ada pernyataan langsung dari kedutaan AS tentang apakah sistem itu digunakan untuk melawan roket yang menyerang semalam.
Irak telah lama terjebak dalam tarik menarik antara dua sekutu utamanya, Iran dan AS, yang hubungan keduanya semakin hancur sejak Washington menarik diri dari perjanjian nuklir penting dengan Teheran pada 2018.
Baghdad dengan hati-hati menyeimbangkan hubungannya dengan kedua negara itu, tetapi tembakan roket yang berulang kali terjadi berisiko menghancurkan semuanya.
AS menyalahkan Kataib Hezbollah, sebuah faksi yang didukung Teheran dalam jaringan unit-unit bersenjata yang disponsori oleh negara Irak yang dikenal sebagai Hashd al-Shaabi (Pasukan Mobilisasi Populer atau PMF). Washington telah menuntut pemerintah Irak untuk lebih keras terhadap kelompok itu.
Pasukan pemerintah Irak masih dibayangi keragu-raguan, takut tindakan langsung terhadap kelompok itu bakal berisiko konfrontasi yang lebih luas. Namun bulan lalu, pasukan Irak melakukan serangan pertama terhadap kamp Kataib Hezbollah di tepi Baghdad. Mereka berhasil merebut roket dan menangkap 14 milisi yang diduga merencanakan serangan di Zona Hijau.
Langkah itu mendapat pujian dari Sekretaris Negara AS, Mike Pompeo, yang mengatakan kelompok-kelompok bersenjata adalah satu-satunya penghalang terbesar untuk pengiriman bantuan tambahan atau investasi ekonomi untuk Irak.
Namun beberapa hari kemudian, semua milisi itu dibebaskan dan beberapa dari mereka terlihat membakar bendera AS dan Israel, serta menginjak gambar Perdana Menteri Irak, Mustafa Al-Kadhimi.
Al-Kadhimi telah berulang kali berjanji untuk mengakhiri serangan rudal lanjutan yang dipandang sebagai tantangan bagi otoritasnya. Kataib Hezbollah menuduh Al-Kadhimi terlibat dalam pembunuhan terhadap Jenderal Iran, Qassem Soleimani dan wakil kepala Hashd dalam serangan pesawat tak berawak yang dilakukan AS pada Januari di Baghdad.
“Perdana menteri telah gagal total dan harus mengerti jika dia mengandalkan orang Amerika daripada rakyat Irak, dia akan gagal,” kata Mohammed Mohie, juru bicara Kataib Hezbollah.
“Jika dia terus seperti ini, dia akan menunjukkan kartunya sebagai agen Amerika dan dia telah melayani Amerika lebih dari tanah airnya.”
Kataib Hezbollah pertama kali mulai memerangi pasukan AS pada tahun 2003 setelah invasi pimpinan AS menjatuhkan Saddam Hussein.
Menurut pakar paramiliter Michael Knights, Kataib Hezbollah adalah sekutu dari Garda Revolusi Iran, yang oleh Washington telah ditetapkan sebagai kelompok teroris.
Aljazeera mendapatkan akses eksklusif ke salah satu pangkalan militernya di Baghdad Selatan setelah digerebek oleh pasukan anti-terorisme Irak. Anggota Kataib Hezbollah mengatakan serangan itu ilegal karena dilakukan tanpa surat perintah. [wip]