(IslamToday ID) – China akhirnya mau memulai kembali perundingan dengan negara-negara ASEAN terkait dengan kode etik kelautan khususnya Laut China Selatan (LCS). Langkah itu diambil untuk memulihkan citranya di luar negeri setelah penyebaran virus corona (Covid-19).
Beijing menyatakan pada 1 Juli dalam sebuah konsultasi dengan para pemimpin Asia Tenggara bahwa mereka akan melanjutkan negosiasi mengenai kode etik Laut China Selatan yang sudah tertunda sejak tahun 2002. Kode etik ini akan membantu kapal menghindari kecelakaan dan menyelesaikan kecelakaan di Laut China Selatan yang luas dan ramai.
China dan mitra perundingannya yang beranggotakan 10 negara anggota ASEAN, sejauh ini menolak untuk membahas topik tersebut pada tahun ini karena tengah berjibaku dengan wabah Covid-19.
Sebelumnya, kondisi di wilayah Laut China Selatan sempat memanas. Di paruh pertama tahun ini, China tercatat sudah menerbangkan pesawat militer setidaknya delapan kali di sudut laut dekat Taiwan dan mengirim kapal survei ke saluran-saluran air yang diklaim oleh Malaysia dan Vietnam.
Bahkan pada pekan lalu, China juga mengadakan latihan militer di Laut China Selatan dengan fokus nyata pada serangan amfibi.
“Saya pikir alasan mengapa China menawarkan pembicaraan adalah karena merasa sangat yakin bahwa mereka berada dalam posisi yang kuat dan dapat membentuk arah atau lintasan diskusi. Dan rekan-rekannya tidak dalam posisi yang kuat, karena virus corona (dan) karena mereka tidak memiliki aset apapun di lautan,” ungkap Stephen Nagy, seorang profesor senior bidang studi politik dan internasional di International Christian University di Tokyo kepada VOA, Kamis (9/7/2020).
Anggota ASEAN seperti Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam mengklaim bagian dari lautan 3,5 juta kilometer persegi. China dan Taiwan mengklaim hampir semuanya. Pengadu saingan menghargai jalur air untuk perikanan, jalur pelayaran, dan cadangan bahan bakar fosil.
Pembahasan negosiasi terkait kode etik Laut China Selatan terhenti selama pandemi virus corona. Hal ini meningkatkan kekhawatiran di antara beberapa negara Asia Tenggara bahwa China akan mengeksploitasi penundaan untuk mengkonsolidasikan kehadirannya di perairan yang disengketakan.
Melansir Nikkei Asian Review, Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc mengakui penundaan pembahasan itu diputuskan setelah menggelar pertemuan puncak virtual pada awal bulan lalu dengan para pemimpin ASEAN.
Beberapa pengamat mempertanyakan apakah kode etik tersebut dapat disetujui sesuai target, yakni pada 2021, seperti yang diusulkan oleh Perdana Menteri China Li Keqiang.
Vietnam, salah satu pendukung kode etik utama, termasuk di antara negara-negara pertama di kawasan itu yang diserang wabah virus corona. Mereka mengusulkan mengadakan pertemuan puncak secara langsung untuk mengirim pesan kuat tentang kode etik. Ini menjadi isu pembaruan yang sudah lama didorong untuk dibahas.
Pasalnya, menurut para pengamat, saat ini Laut China Selatan tidak memiliki aturan yang jelas untuk wilayah perairan yang kaya akan sumber daya dan dilalui oleh perjalanan internasional yang sangat ramai.
Namun tidak seperti pertemuan yang diusulkan Vietnam, KTT itu akhirnya diadakan secara virtual sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi.
Beberapa anggota ASEAN, seperti Indonesia dan Filipina, masih berjuang untuk mengekang virus corona. Di sisi lain, China telah meningkatkan kehadirannya di perairan karena seluruh dunia tengah fokus dalam merespons pandemi.
Para analis menilai China saat ini berupaya untuk memulihkan citranya di mata dunia internasional, di mana mereka kerap disebut sebagai negara penyebar Covid-19.
“Semua peristiwa ini telah memperburuk citra internasional China, jadi saya pikir mungkin masuk akal bagi China untuk meminta ASEAN memulai kembali perundingan kode etik sebagai cara untuk memulihkan citra di kawasan itu,” kata Le Hong Hiep, seorang rekan di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura kepada VOA.
Pembahasan kode etik ini menunjukkan peluang bagi kedua belah pihak untuk bekerja sama serta mencegah kecelakaan. Kapal-kapal nelayan Filipina dan Vietnam pernah tenggelam setelah terlibat perselisihan dengan kapal-kapal China selama setahun terakhir. Pada 1974 dan 1988, para pelaut Vietnam tewas dalam bentrokan dengan China.
Namun, analis meyakini pembicaraan mengenai kode etik ini diperkirakan akan sulit, dan kemungkinan akan mengarah pada kesepakatan tanpa ruang lingkup geografis yang jelas dan tidak memiliki mekanisme penegakan hukum.
“Ini sudah tahun 2020 dan mereka masih belum benar-benar memahami (kode),” kata Jay Batongbacal, profesor urusan maritim internasional di Universitas Filipina.
“Kita bisa berakhir dengan dokumen lain yang sangat umum.”
Namun, Batongbacal mengatakan kedua belah pihak pada akhirnya mendapatkan tekanan besar untuk membuat semacam kode etik. “Mereka tidak punya pilihan selain terus berusaha untuk menegosiasikan hal ini, itu adalah satu-satunya hal yang terjadi antara ASEAN dan China. Bagi pihak manapun yang berupaya membatalkannya, hal ini sepenuhnya akan dilihat sebagai kegagalan,” katanya. [wip]