(IslamToday ID) – Konflik di Libya telah memasuki fase baru dengan campur tangan pihak asing yang berlebihan dan belum pernah terjadi sebelumnya. Sekjen PBB, Antonio Gutteres pun memperingatkan dengan tegas kepada para anggota Dewan Keamanan PBB terkait konflik berkepanjangan di negara itu.
Keadaan di Libya mulai memasuki kekacauan sejak pasukan pemberontak yang didukung NATO, berusaha menggulingkan kekuasaan Muammar Gaddafi pada tahun 2011 silam.
Negara kaya minyak ini mulai terpecah belah sejak tahun 2014. Ada pemerintahan Tripoli dan wilayah barat laut yang diakui internasional, dan pasukan pemberontak di wilayah Benghazi yang dipimpin Khalifa Haftar.
Menariknya, pasukan Haftar mendapat dukungan dari Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, dan Rusia. Sementara pemerintah mendapat dukungan penuh dari Turki.
Banyaknya “peserta” dalam konflik ini dianggap PBB sebagai sesuatu yang sudah melebihi batas. Setidaknya dalam sejarah konflik Libya yang pernah ada sebelumnya.
“Konflik ini memasuki babak baru dengan campur tangan asing mencapai tingkat yang belum pernah ada sebelumnya,” ungkap Gutteres seperti dikutip dari Aljazeera, Kamis (9/7/2020).
Termasuk, lanjutnya, adanya pengiriman sejumlah peralatan canggih dan jumlah tentara bayaran yang mulai terlibat dalam konflik.
Menurut laporan komite sanksi UNSC Libya, kontraktor militer swasta Rusia, Wagner Group tercatat telah menyediakan 1.200 orang untuk bertugas membantu pasukan Haftar.
Bukan hanya di Libya, Reuters melaporkan pasukan milik Wagner ini juga disebut bertugas di sejumlah wilayah konflik seperti Suriah dan Ukraina.
Di sisi lain, pemerintah Rusia di Kremlin menyangkal segala tuduhan adanya tentara bayaran mereka yang bekerja di luar negeri saat ini.
Menteri Luar Negeri UEA, Anwar Gargash mengatakan kepada dewan bahwa ada sektar 10.000 tentara bayaran Suriah yang beroperasi di Libya. Dua kali lipat lebih banyak dari enam bulan lalu.
“Kami sangat prihatin dengan peningkatan jumlah militer yang semakin mengkhawatirkan di Libya saat ini dan tingginya campur tangan asing dalam konflik yang juga melanggar embargo senjata PBB, resolusi DK PBB, dan komitmen yang dibuat oleh negara anggota di Berlin,” ungkap Gutteres.
Ia juga menginformasikan antara April dan Juni tahun ini PBB sudah mencatat adanya 102 kematian warga sipil dan 254 warga sipil yang mengalami cedera dalam konflik. Angka ini meningkat hingga 127 persen dibandingkan dengan kuartal pertama tahun 2020.
Ada juga setidaknya 21 serangan terhadap fasilitas medis, ambulans, dan tenaga medis yang terjadi. [wip]