(IslamToday ID) – Setelah bersikap netral selama lima tahun terakhir dalam konflik Libya, National Oil Corporation (NOC) Libya mengecam panglima perang Khalifa Haftar karena telah memblokir produksi minyak atas instruksi dari Uni Emirat Arab (UEA).
Sikap berubah NOC itu datang setahun setelah mendapatkan dukungan penuh dari Amerika Serikat (AS).
Ketika Haftar terus menggunakan NOC sebagai nilai tawar terhadap Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui PBB, pada Januari AS memberi peringatan keras pada Haftar ketika negara itu menuntut segera dimulainya kembali ekspor minyak.
Haftar sangat kesulitan untuk terus memblokir produksi minyak sampai keinginannya diterima. Juru bicara Haftar, Ahmed al Mismari meminta bagian dari hasil penjualan minyak dan selanjutnya akan disimpan di rekening bank negara ketiga. Ia juga menuntut adanya audit di Bank Sentral Libya.
Sebagai respons, NOC yang merupakan satu-satunya organisasi sah yang dapat menjual minyak Libya di pasar global, mengutuk Haftar karena memblokade ekspor minyaknya.
NOC mengatakan bahwa perusahaan tersebut telah diberi tahu tentang sepak terjang Haftar merupakan instruksi dari UEA. Haftar menutup jalur produksi NOC juga atas instruksi UEA.
“Ini sangat mengecewakan, terutama setelah pernyataan berulang oleh perwakilan senior dari UEA pekan lalu yang mendukung upaya internasional untuk memulai kembali produksi minyak di Libya,” kata NOC, seperti dikutip di TRT Word, Selasa (14/7/2020).
Ia menambahkan, bahwa negara-negara yang bertanggung jawab atas blokade harus dimintai pertanggungjawaban oleh Dewan Keamanan PBB. “NOC telah dipaksa untuk menyatakan force majeure pada semua ekspor minyak dari Libya untuk membatasi kewajiban kontraknya.”
Ekspor minyak sudah dimulai kembali pada hari Jumat setelah enam bulan diblokade. Namun, Haftar memerintahkan milisi untuk menghentikan ekspor lagi pada hari berikutnya.
“Tentara bayaran Wagner Group dan Suriah sekarang menduduki pelabuhan minyak Es Sider dan tentara bayaran Wagner dan Sudan berkemah di sekitar ladang minyak Sharara, mencegah minyak Libya masuk. NOC mendesak semua tentara bayaran untuk menarik diri dari fasilitas minyak Libya,” jelas NOC.
Ketua NOC, Mustafa Sanallah mengatakan sangat menghargai upaya PBB dan AS yang mendorong dimulainya kembali produksi minyak Libya untuk menghindari eskalasi konflik.
“Jika upaya ini gagal, seperti yang tampaknya akan terjadi, pasti ada konsekuensi atas tindakan segelintir negara yang merusak tatanan internasional berbasis aturan dan menghancurkan Libya. Mereka menimbulkan ancaman besar bagi keamanan Libya dan global,” ungkap Sanallah.
Ia juga menyatakan bahwa posisi NOC selama negosiasi jelas, yaitu mendukung semua langkah untuk menciptakan transparansi keuangan negara dan menentang segala sesuatu yang merusak kedaulatan Libya.
“Blokade baru menunjukkan perlunya langkah-langkah untuk meningkatkan transparansi keuangan yang disertai dengan reformasi keamanan di instalasi minyak.”
Haftar telah mengalami kekalahan di masa lalu. GNA berhasil merebut wilayah teritorial strategis sejak Maret 2020, sehingga memupus harapan Haftar untuk memerintah negara itu. Haftar juga menghadapi kritik keras karena dilaporkan bekerja sama dengan Rusia.
Sikap NOC Selama Konflik Libya
NOC didirikan pada tahun 1970 untuk mengelola sektor perminyakan. Ini terutama fokus pada pengembangan rencana inovatif untuk meningkatkan produksi minyak dan memantau peluang investasi untuk cadangan minyak.
Sejumlah perusahaan milik NOC di antaranya Sirte Oil Company, Arabian Gulf Oil Company, dan Brega Petroleum Marketing Company.
NOC yang berbasis di Tripoli sebelumnya menyatakan bersikap netral dan tidak berurusan dengan semua pihak dalam konflik Libya. NOC juga memperingatkan bahwa setiap penutupan dapat berdampak jangka panjang.
Namun, sejak 2011 NOC menjadi lebih politis karena semua pemangku kepentingan di Libya berlomba mendukungnya untuk bertahan hidup.
Terlepas dari kenyataan ini, pada 2016 Haftar merebut sebagian besar fasilitas minyak di timur Libya. Dan tahun ini milisi Haftar juga merebut wilayah dan mengambil kendali atas ladang minyak El Sharara dan El Feel.
Haftar juga meminta NOC mengekspor minyak secara langsung walaupun tidak sah secara hukum. Ekspor ilegal minyak Libya hanya merusak prospek jangka panjang karena mengikis kepercayaan investor internasional dan mitra bisnis.
NOC di Tripoli berusaha untuk mempertahankan netralitasnya. Tetapi pemerintah timur, yang bersekutu dengan Haftar, telah membuat NOC mendua di Benghazi yang berulang kali mencoba dan gagal merebut kendali atas beberapa ekspor minyak Libya.
Pada tahun 2018, Haftar berusaha untuk menjual minyak, tetapi AS dengan cepat melakukan intervensi dengan memberikan peringatan. Haftar kemudian mengembalikan kendali pengelolaan minyak ke NOC, memastikan bahwa pendapatan yang dikumpulkan dari bisnis ini masuk ke Bank Sentral Libya.
Semua faksi yang bertikai menerima baik NOC maupun Bank Sentral Libya, dan setiap serangan terhadap kedua institusi itu berarti serangan terhadap AS.
Libya memiliki cadangan minyak terbesar di Afrika dan dapat menghasilkan 1,2 juta barel minyak mentah per hari. Tetapi produksinya telah turun di bawah 100.000 barel karena gangguan oleh milisi pro-Haftar selama enam bulan terakhir.
Meskipun sangat kaya minyak, namun banyak warga yang masih antre di stasiun-stasiun pengisian bahan bakar. Menurut beberapa ahli, ini karena Haftar mengalami kerugian besar akibat perang dengan pasukan GNA yang didukung PBB.
Haftar berada di bawah tekanan internasional yang besar dan sedang mencari jalan keluar untuk negosiasi politik. Banyak pakar regional berpendapat bahwa Haftar ingin menggunakan produksi minyak sebagai alat tawar-menawar politik. [wip]