(IslamToday ID) – Pemerintah Libya yang diakui PBB, Government of National Accord (GNA) memindahkan pasukan lebih dekat ke Sirte pada hari Sabtu (18/7/2020). Wilayah tersebut menjadi pintu gerbang ke terminal minyak utama Libya yang akan direbut kembali dari Libyan National Army (LNA) yang berpusat di timur.
Para saksi dan komandan militer GNA menyatakan, pasukan dengan sekitar 200 kendaraan bergerak ke arah timur dari Misrata di sepanjang pantai Mediterania menuju kota Tawergha, sekitar sepertiga dari perjalanan ke Sirte. Didukung oleh Turki, GNA mengatakan akan merebut kembali Sirte dan pangkalan udara LNA di Jufra.
GNA baru-baru ini merebut kembali sebagian besar wilayah yang dikuasai oleh LNA di barat laut Libya. Aksi itu mengakhiri upaya 14 bulan komandan timur Khalifa Haftar untuk mengambil ibukota Tripoli, sebelum garis depan baru dikuatkan antara Misrata dan Sirte.
Tapi, Mesir yang mendukung pasukan LNA bersama Uni Emirate Arab (UEA) dan Rusia, telah mengancam untuk mengirim pasukan ke Libya. Keputusan itu akan bergantung dari langkah GNA dan pasukan Turki yang mencoba untuk merebut Sirte.
Amerika Serikat (AS) menyatakan, Moskow telah mengirim pesawat perang ke Jufra melalui Suriah untuk mendukung tentara bayaran Rusia yang berperang bersama LNA. Namun, Moskow dan LNA sama-sama menyangkal klaim tersebut.
Sementara, LNA telah mengirim pasukan dan senjata untuk meningkatkan pertahanannya terhadap Sirte. Wilayah tersebut terpukul habis-habisan oleh peperangan dan kekacauan sebelumnya sejak revolusi 2011 melawan pemimpin lama Libya, Muammar Gaddafi.
Uni Eropa Mengancam Sanksi
Sementara itu, para pemimpin Perancis, Italia, dan Jerman menyatakan mereka siap untuk mempertimbangkan sanksi terhadap kekuatan asing yang melanggar embargo senjata di Libya.
Namun, pernyataan itu tidak secara langsung menyebut nama aktor asing yang menyalurkan senjata ke Libya. Tetapi banyak kekuatan telah mengirim pejuang dan senjata ke Libya, sehingga memicu perang proksi berdarah yang memicu perpecahan di Timur Tengah dan di dalam NATO.
“Kami mendesak semua aktor asing untuk mengakhiri campur tangan mereka dan sepenuhnya menghormati embargo senjata yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB,” tulis pernyataan itu seperti dikutip di Al Jazeera, Senin (20/7/2020).
“Kami siap mempertimbangkan kemungkinan pemberian sanksi jika pelanggaran terhadap embargo di laut, darat, atau udara berlanjut.”
Kanselir Jerman Angela Merkel, Presiden Perancis Emmanuel Macron, dan Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte mengatakan mereka menunggu proposal terkait rencana yang akan dilakukan Perwakilan Tinggi atau Wakil Presiden Uni Eropa untuk tujuan ini.
Menyuarakan keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya ketegangan militer di Libya, mereka mendesak semua kelompok dan pendukung asing untuk segera menghentikan pertempuran.
NOC Desak Tentara Bayaran Pergi
Pada hari Sabtu, National Oil Corporation (NOC) Libya menyerukan penarikan segera tentara bayaran asing dari fasilitas minyak di negara itu.
Dalam sebuah pernyataan, NOC mengutuk penyebaran Wagner Group Rusia dan tentara bayaran Suriah dan Janjaweed di instalasi minyak Libya, yang terbaru di pelabuhan Es Sidra.
NOC menuntut penarikan segera para tentara bayaran dari semua fasilitas. NOC juga menyerukan PBB untuk mengirim pengamat untuk mengawasi demiliterisasi di bidang operasi NOC di seluruh negeri. Saat ini ada banyak tentara bayaran asing di fasilitas NOC yang tidak mendukung tujuan ini.
Pada hari Minggu, NOC menuduh UEA menginstruksikan pasukan yang setia kepada Haftar mengganggu produksi dan ekspor minyak Libya.
Libya, dengan cadangan minyak terbesar di Afrika, dapat menghasilkan 1,2 juta barel minyak mentah per hari. Namun, produksi telah turun di bawah 100.000 barel per hari karena gangguan milisi pro-Haftar dalam enam bulan terakhir. [wip]