(IslamToday ID) – Demonstrasi yang terus berlanjut di Mali telah menghadirkan tantangan terberat bagi Presiden Ibrahim Boubacar Keita sejak ia berkuasa pada tahun 2013.
Ketidakpuasan masyarakat terlahir karena hancurnya ekonomi, korupsi yang tinggi, serta gagalnya pemerintah menciptakan situasi aman. Situasi keamanan makin memburuk sehingga menyebabkan berbagai kelompok bersenjata berebut kekuasaan.
Konflik berkepanjangan mulai pecah pada tahun 2012 dan telah menewaskan puluhan ribu orang serta ratusan ribu orang terlantar. Sementara intervensi militer Perancis makin dibenci dan pasukan penjaga perdamaian PBB yang beranggotakan 15.000 personel telah gagal menghentikan kekerasan.
Bulan lalu, pihak oposisi dan masyarakat sipil membentuk “Gerakan 5 Juni” dan menyerukan protes anti-pemerintah dengan menuntut Keita mundur. Protes itu dipimpin oleh sosok yang bukan politisi berpengalaman, namun seorang imam bernama Mahmoud Dicko.
Dijuluki “imam rakyat”, Dicko tahun lalu mengerahkan puluhan ribu massa untuk memaksa perdana menteri Mali mundur. Sekarang secara de facto, ia dianggap sebagai kepala oposisi Mali dan telah disuarakan oleh ECOWAS, blok politik dan ekonomi regional dari 15 negara di Afrika Barat.
Dicko lahir dari keluarga cendekiawan muslim di Timbuktu pada tahun 1954. Ia melanjutkan kuliah di Mauritania dan kemudian di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi.
Meski begitu, corak beragama Islam Dicko menentang kategorisasi atau mengkotak-kotakkan. Ia menganjurkan Islam tradisional Afrika Barat, dan membela budaya pra-muslim Mali dan penghormatan terhadap mistisisme.
Kemahiran Dicko bukanlah hal baru. Paham soal teks-teks keagamaan, bahasa Arab, dan juga bahasa Perancis, ia menjadi terkenal pada 1990-an ketika Mali beralih ke sistem demokrasi. Ia menjadi terkenal karena kemampuannya berbicara tentang masalah-masalah agama, pemerintahan, dan terkadang politik internasional.
Pada 2009, Dicko berhasil memimpin kampanye populer yang memaksa pemerintah untuk melemahkan undang-undang yang mempromosikan kesetaraan gender. Kemudian ia berhasil mempelopori penghapusan buku pelajaran sekolah yang mengkampanyekan homoseksual.
Ibrahim Yahya Ibrahim, analis senior Sahel di International Crisis Group menyatakan kepedulian Dicko pada masalah moralitas publik sangat menyentuh masyarakat Mali, sehingga meningkatkan popularitasnya.
“Ini adalah bagian dari proses dimana dia dapat memposisikan dirinya sebagai orang yang dapat menyalurkan kemarahan rakyat melalui protes pada beberapa masalah,” katanya seperti dikutip di Al Jazeera, Selasa (21/7/2020).
Menurut Ibrahim, tampilnya Dicko adalah bagian dari perubahan yang lebih luas di negara mayoritas muslim seperti Mali. Ini adalah peristiwa di mana seorang pemimpin agama menjadi berani untuk melawan apa yang mereka anggap sebagai “westernisasi” yang merajalela.
Melalui dukungan Dicko, Keita naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 2013. Ia berjanji untuk membasmi pemberontakan yang meletus di Mali utara pada tahun sebelumnya.
Sebagai seorang kepala Dewan Tinggi Islam Mali, pengaruh Dicko bahkan meluas ke kelompok-kelompok bersenjata. Ketika para milisi berhasil merebut Mali utara pada 2012, ia ditunjuk sebagai negosiator antara pemerintah dan Iyad Ag Ghaly, pemimpin Ansar Dine, kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaeda. Namun upaya negosiasi itu gagal menghasilkan kesepakatan.
Namun ketika kekerasan meluas ke Mali tengah dan aksi protes ketidakmampuan pemerintah dan korupsi meningkat, presiden yang terpilih kembali pada tahun 2018 dan sang imam pecah kongsi.
Mobilisasi Puluhan Ribu Massa
Tahun lalu, Dicko terus memberikan tekanan serius bagi pemerintahan Keita. Dicko mampu memobilisasi puluhan ribu pengunjuk rasa yang menekan Perdana Menteri Soumeylou Boubeye Maiga mengundurkan diri.
Kemudian, pada bulan September 2019, ia mengundurkan diri dari posisinya di Dewan Islam untuk membangun gerakan Koordinasi des Mouments, Associations et Sympathisants (CMAS), sebelum tampil tahun ini menjadi pemimpin Gerakan 5 Juni.
“Ada pemerintahan yang buruk dan rasa tidak nyaman di negara ini. Korupsi merajalela. Saya tegaskan dan saya tegaskan lagi!” kata Dicko kepada Radio Perancis pada bulan Juni.
Alex Thurston, asisten profesor ilmu politik di Universitas Cincinnati, mengatakan keberhasilan Dicko terletak pada kejelasan tuntutannya, yakni Keita harus mundur dan perhatiannya pada rakyat.
“Dia belum membuat ini semua tentang Mahmoud Dicko,” kata Thurston. Ia menambahkan bahwa tampilnya Dicko juga dimungkinkan oleh popularitas para pemimpin muslim yang meningkat pesat akibat runtuhnya kepercayaan pada elite politik.
“Banyak orang Mali yang curiga terhadap kelas politik dan banyak gerakan oposisi berkuasa sebelumnya. Saya tidak yakin siapapun di dalam oposisi memiliki status dan kredibilitas yang besar dengan publik. Kelas ulama secara keseluruhan memiliki lebih banyak rasa hormat.”
Ditanya tentang ambisi politiknya tahun lalu, Dicko mengatakan kepada mingguan Jeune Afrique, “Saya bukan politikus, tapi saya seorang pemimpin dan saya punya pendapat. Jika itu dianggap politis, maka saya politis.”
Ada yang ragu. Para pengamat telah mengkarakterisasi dirinya sebagai “Khomeini Mali”, kuda troya untuk pemerintahan Islam, meskipun tuntutannya bersifat murni sekuler. Yang lain memandangnya sebagai pesaing potensial bagi Keita.
Namun, Boubacar Sangare, peneliti Sahel di Institute for Security Studies yang berbasis di Bamako menyatakan rumor seperti itu salah tempat.
“Saya tidak berpikir bahwa imam Dicko ingin masuk ruang politik untuk menantang para politisi. Dia ingin bertindak sebagai otoritas moral, yang dapat menggunakan pengaruhnya untuk mengubah keputusan.”
Ke depan, Alex Thurston menyarankan agar Dicko bisa menjadi mediator untuk membawa kelompok-kelompok bersenjata ke meja perundingan lagi. Namun persoalan Mali tidak berhenti sampai di situ.
“Dicko tidak dapat memperbaiki masalah aksi mogok nasional guru-guru akibat Covid-19. Saya pikir kelemahan dari gerakan protes adalah bahwa banyak masalah bersifat struktural dan menyingkirkan Keita tidak akan benar-benar berhasil. Inilah masalah yang harus dipecahkan,” ungkap Thurston.
“Siapapun yang berhasil, dia akan menghadapi masalah dan tekanan yang keras.” [wip]