IslamToday ID- Paguyuban Rakyat meminta pemerintah menghentikan kebijakan yang bersifat kontradiktif dan kontraproduktif penanganan Covid-19. Pasalnya, selama ini kebijakan yang diambil pemerintah hanya memberikan rasa aman yang bersifat semu. Buktinya, kasus covid-19 tidak kunjung mereda dan justru mengalami lonjakan tajam.
Paguyuban Rakyat menilai pemerintah gagal menangani covid-19. Kegagalan itu tampak dari situasi pandemi yang semakin tidak terkendali. Bahkan jumlah kasus covid-19 di Indonesia menyalip jumlah kasus yang terjadi di China. Selain itu, pemerintah Indonesia juga dinilai gagal, lantaran tidak bisa menekan laju penyebaran covid-19. Padahal laju kasus covid-19 di kawasan ASEAN telah bisa dikendalikan.
“Sementara negara lain sekawasan telah berhasil menekan dan mengendalikan kurva pandemi dan perlahan bangkit kembali, angka kasus di Indonesia terus melejit, angka kematian terus memecah rekor, dan setiap hari semakin banyak tenaga kesehatan dan dokter di Indonesia yang gugur dalam menjalankan tugas,”tulis Paguyuban Rakyat, seperti dikutip dari laman LBH Jakarta Ahad (19/7/2020).
Dari data gugus tugas, Selasa (21/7/2020) pukul 12.00 WIB, diketahui ada 1.655 kasus baru Covid-19 dalam 24 jam terakhir. Penambahan itu menyebabkan kini ada 89.869 kasus Covid-19 di Indonesia, terhitung sejak pasien pertama diumumkan pada 2 Maret 2020. Sementara itu di kasus covid-19 di China tercatat ada 85.921 kasus, dengan jumlah pasien sembuh sebanyak 80.519 orang dan korban meninggal dunia sebanyak 4.653 orang.
Paguyuban Masyarakat juga menilai kebijakan pemerintah selama ini terkesan sangat menyepelekan wabah covid-19. Padahal virus ini menyebar dengan cepat dan mengancam nyawa masyarakat. Kebijakan yang diambil pemerintah justru kerap menimbulkan kebingungan dan keresahan, pada saat yang bersamaan justru menimbulkan rasa aman semu.
Dalam pernyataan sikapnya, Paguyuban Masyarakat menyebut ada tujuh hal mendasar yang menyebabkan gagalnya kebijakan pemerintah dalam penanganan covid-19. Pertama, absennya kepemimpinan yang memahami keilmuan, hilangnya kepekaan terhadap kondisi krisis, hilangnya rasa empati, tidak cepat tanggap, tidak konsisten dalam membuat dan melaksanakan kebijakan, absennya komunikasi krisis yang benar dan terakhir tata kelola dan transparansi data.
Kedua, paguyuban Rakyat menilai pesan-pesan publik yang disampaikan Presiden Joko Widodo, tidak mengutamakan perlindungan kesehatan masyarakat. Pemerintah terkesan mendahulukan aspek ekonomi dan menjadikan kesehatan masyarakat sebagai pertimbangan komplementer, bukan yang utama atau mendesak.
Buruknya komunikasi yang terjadi antar lembaga pemerintah memperparah koordinasi. Akibatnya upaya mitigasi yang seharusnya terintegrasi dan responsif menjadi terpecah, lamban, sia-sia dan kontraproduktif. Akhirnya komunikasi pemerintah ke rakyat Indonesia hanya berpindah dari satu penyangkalan ke penyangkalan yang lain.
Ketiga, absennya visi dan strategi yang jelas, pemahaman yang benar mengenai keilmuan pandemi. Tidak adanya struktur kelembagaan yang efektif untuk melakukan koordinasi, memimpin riset dan analisis, dan mengawasi pelaksanaan dan pengendalian secara efektif dan efisien,” terangnya.
Keempat yang menyebabkan kegagalan pemerintah dalam penanganan covid-19, ialah absennya fungsi pemantauan, pengawasan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pengendalian yang diambil. Kelima ketiadaan infrastruktur hukum dalam penanggulangan wabah pandemi Covid-19. Akibatnya penanganan wabah pandemi Covid-19 di Indonesia menjadi carut marut.
“Oleh karenanya, penanggulangan wabah pandemi Covid-19 dapat dikatakan “ugal-ugalan”, di mana ia dilakukan tanpa berdasarkan aturan hukum yang jelas secara menyeluruh,” papar mereka.
Keenam, pengawasan dan implementasi kebijakan pencegahan dan pengendalian Covid-19 di lapangan cenderung dilakukan oleh aparat pemerintah yang tidak memiliki kompetensi di bidang kesehatan. Misalnya keterlibatan Badan Intelejen Negara (BIN) untuk pada pelaksanaan tes PCR. Bahkan, pemerintah melibatkan unsur militer TNI dan Polri untuk mengawasi pelaksanaan PSBB bahkan mengawasi di berbagai fasilitas publik hingga tempat ibadah.
Ketujuh, perumusan dan pelaksanaan kebijakan penanggulangan wabah pandemi Covid-19 di Indonesia masih minim perspektif nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. .
Tidak Berdasar Fakta
Pada Rabu 15 Juli 2020 Presiden Jokowi mengumpulkan para gubernur di Istana Bogor. Pada kesempatan tersebut, PResiden Jokowi memuji para gubernur yang menurutnya berhasil dalam menangani pandemi Covid-19.
“Saya mengapresiasi kerja provinsi-provinsi, Bapak Ibu sekalian para gubernur, dan dalam penanganan Covid-19, ini dari seluruh parameter yang kita miliki memang DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) yang paling baik,” kata Presiden Jokowi, (15/7/2020).
Pernyataan Presiden Jokowi tampaknya tidak berdasar fakta dan data. PErnyataan Presiden Jokowi lantas dimentahkan Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. Menurutnya, Yogyakarta bukan provinsi terbaik dalam penanganan Corona. Menurutnya, pernyataan presiden tidak didasarkan pada ukuran yang valid.
“Kriterianya ideal merujuk ke kriteria global atau dari WHO. Supaya argumennya valid dan bisa diukur secara global juga,” ucap Dicky (17/7/2020).
Dicky menyebutkan tiga kriteria yang ditentukan oleh WHO yaitu target testing 1 tes per 1000 orang per minggu atau 1000 tes PCR per 1 juta penduduk, positive rate antara 3 sampai 5 persen, tracing minimal 80 persen dari total kasus kontak.
“Sesuai kriteria WHO ya DKI mendekati,” ucapnya.
Penulis: Kukuh Subekti