(IslamToday ID) – Komandan Tentara Nasional Libya (LNA) Khalifa Haftar menolak seruan gencatan senjata yang dilayangkan oleh Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA). Haftar menyebut genjatan senjata itu sebagai tindakan “pemasaran”.
Hal itu disampaikan oleh juru bicara Haftar, Ahmed Mismari dalam jumpa pers, Minggu (23/8/2020).
Dikutip di Aljazeera, ia mengatakan pasukannya siap untuk menanggapi setiap percobaan serangan terhadap posisinya di sekitar kota pesisir Sirte dan Jufra.
Pernyataan Mismari itu adalah pernyataan resmi yang pertama dikeluarkan oleh LNA setelah pemimpin GNA Fayez al-Sarraj mengumumkan genjatan senjata dan seruan dimulainya kembali produksi minyak Libya pada hari Jumat (21/8/2020).
Pernyataan itu juga menghapus kabar sebelumnya yang menyatakan bahwa LNA juga setuju untuk melakukan genjatan senjata.
Sebelumnya, pada hari Jumat Reuters melaporkan bahwa kepala parlemen Aguila Saleh yang bersekutu dengan Haftar mengeluarkan pernyataan yang menyerukan diakhirinya permusuhan di seluruh negeri.
“Inisiatif yang ditandatangani al-Sarraj adalah untuk pemasaran media,” kata Mismari.
“Ada peningkatan militer dan pemindahan peralatan untuk menargetkan pasukan kami di Sirte,” tambahnya.
“Jika al-Sarraj menginginkan gencatan senjata, dia akan menarik pasukannya kembali, bukan maju menuju unit kami di Sirte,” tegasnya.
Mismari tidak setuju pada seruan gencatan senjata sebagaimana diserukan oleh Aguila Saleh. Saleh kini dianggap mempunyai pengaruh lebih besar daripada Haftar sejak LNA dipaksa mundur oleh GNA dan sekutunya.
Terkait dengan pengaruh dari Haftar di LNA, Malik Traina reporter dari Aljazeera melaporkan dari Misrata, bahwa, “Sebelumnya dalam negosiasi atau pembicaraan damai apapun di Libya, Haftar adalah anggota yang sangat penting dan sangat terlibat dalam pembicaraan semacam ini, dan dia merasa dipinggirkan sekarang.”
Selain itu, Traina juga mencatat ini bukan pertama kalinya Haftar menolak perjanjian gencatan senjata. Pada Januari, Turki dan Rusia juga mencoba mendukung gencatan senjata yang ditandatangani oleh GNA di Moskow, tetapi tidak oleh Haftar.
“Jika pendukung asing Haftar berhenti mendukungnya, apakah ini berarti GNA akan dapat membuat kemajuan? Apakah ini berarti bahwa Saleh dan al-Sarraj akan dapat mencapai kesepakatan damai dan mewujudkan perdamaian abadi di Libya? Itu masih harus dipertimbangkan,” kata Traina.
Sementara itu, pada hari Sabtu (22/8/2020), Dewan Tinggi Negara Libya, badan penasehat GNA, dengan keras menolak untuk melakukan dialog apapun dengan Haftar. Mereka menggarisbawahi perlunya bekerja serius untuk mengakhiri “pemberontakan” di Libya melalui gencatan senjata segera dan kebutuhan untuk memungkinkan pemerintah mengambil kendali atas seluruh tanah Libya.
“Setiap dialog atau kesepakatan harus berdasarkan kesepakatan politik Libya, yang mengatur mekanisme dialog hanya di antara badan-badan terpilih,” ujarnya. [wip]