(IslamToday ID) – Meski sudah genap tiga tahun, namun nasib kaum minoritas Rohingya kian menderita. Lebih dari 1 juta Rohingya masih mengungsi di kamp pengungsi terbesar di dunia di Bangladesh. Di Rakhine, kaum Rohingya pun masih ditekan dan ditindas oleh pemerintah Myanmar.
Dunia seolah diam dan tidak bergerak mencari solusi atas permasalahan warga Rohingya. Mereka tidak memiliki kewarganegaraan. Myanmar tidak mengakui mereka sebagai warga negaranya. Di Bangladesh, mereka juga disia-siakan tanpa kejelasan. Mereka harus tinggal di pengungsian tanpa pekerjaan dan tanpa kejelasan tentang kehidupan mendatang.
Mengungsi dengan kapal ke negara lain, mereka pun mendapatkan perlakuan yang tidak jelas dan tanpa masa depan. Di Malaysia, meskipun warga Rohingya telah melarikan diri ke Negeri Jiran sejak 30 tahun lalu, status legalitas mereka pun tidak jelas. Misalnya, banyak pengungsi di Penang yang bekerja di sektor konstruksi dengan gaji yang minim. Mereka juga tidak bisa kembali ke Myanmar, mereka pun terpaksa bertahan di negeri asing.
Jika Rohingya untuk mendapatkan kesempatan dan masa depan yang lebih baik, komunitas internasional harus meningkatkan diplomasi dua kali lipat kepada Myanmar. Sayangnya, tidak banyak negara yang sukses menekan Myanmar di mana militernya masih sangat kuat.
Peringatan tiga tahun sejak konflik pecah di Rakhine, lebih dari 1 juta pengungsi Rohingya di Bangladesh menggelar demonstrasi diam. Itu juga menandai peringatan tiga tahun pengungsi warga Rohingya ke Bangladesh.
Para pengungsi Rohingya harus tinggal di kamp pengungsian terbesar di Bangladesh selatan. Mereka juga tidak memiliki masa depan untuk kembali ke Myanmar karena ditolak kewarganegaraan dan hak-hak sipil lainnya. Itu menjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terbesar yang dilakukan pemerintah Myanmar.
Para pengungsi mengungkapkan dikarenakan pandemi virus corona, mereka tidak menggelar aksi massal yang disebut sebagai “Hari Peringatan”. Otoritas Bangladesh menyatakan 88 kasus corona ditemukan di kamp pengungsi tersebut dan menyebabkan enam orang meninggal dunia.
Tiga tahun lalu, pejuang Rohingya menyerang 30 pos polisi dan sebuah pangkalan militer di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, yang menewaskan sedikitnya 12 pasukan keamanan. Militer Myanmar langsung melancarkan serangan balasan membabi buta yang memaksa 730.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh bergabung dengan 200.000 pengungsi yang sudah bertahan di sana.
“Kita terpaksa keluar dari tanah air kita ke kamp pengungsi terbesar di dunia,” demikian keterangan kelompok pengungsi Rohingya seperti dikutip di TRTWorld, Rabu (26/8/2020).
PBB menyebut aksi kekerasan yang dilakukan militer Myanmar tersebut merupakan bentuk genosida. Namun, Myanmar menolak aksi tersebut sebagai genosida. Mereka mengklaim tindakan tersebut sebagai upaya untuk melawan gerilyawan Rohingya. Tapi, fakta di lapangan menunjukkan tentara Myanmar justru membakar desa-desa Rohingya dan mengusir mereka.
Para pengungsi menyatakan Rohingya menghadapi genosida tersembunyi selama beberapa dekade lamanya. Mereka sudah mengajukan kepada PBB dan organisasi dunia lainnya tentang apa yang terjadi sejak genosida pada 2017. “Tolong dukung Rohingya yang tak bersalah dan kemudian kita berharap bisa kembali ke rumah kita,” ungkap kelompok pengungsi Rohingya.
kam
Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi pernah mengatakan semua orang harus diperlakukan setara. Tapi, kenyataannya berbeda. [wip]