(IslamToday ID) – Tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh pemerintah China terhadap muslim Uighur terus bermunculan. Bahkan, pemerintah China memperluas lokasi yang selama ini digunakan sebagai kamp penahanan itu.
Pusat penahanan itu berlokasi di wilayah barat laut Xinjiang. Jaringan pusat penahanan China itu ternyata jauh lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya dan sedang diperluas.
Mengutip Al Jazeera pada hari Jumat (25/9/2020), perluasan jaringan pusat penahanan di Xinjiang dilakukan pada saat Beijing juga akan menghentikan program “pendidikan ulang” untuk etnis Uighur, yang telah dikecam secara internasional. Penelitian baru tersebut dirilis oleh Institut Kebijakan Strategis Australia (ASPI) pada hari Kamis (24/9/2020).
Disebutkan dalam penelitian tersebut bahwa pihaknya telah mengidentifikasi ada lebih dari 380 fasilitas penahanan yang dicurigai berada di wilayah Xinjiang. PBB sebelumnya telah mengatakan lebih dari 1 juta warga Uighur dan sebagian besar penduduk berbahasa Turki muslim di Xinjiang telah ditahan dalam beberapa tahun terakhir.
China mengatakan fasilitas tersebut adalah kamp pusat pelatihan keterampilan kejuruan dan bagian penting dari upaya untuk melawan ancaman ekstremisme. Berdasarkan penelitian ASPI, jumlah fasilitas tersebut sekitar 40 persen lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.
“Temuan penelitian ini bertentangan dengan klaim pejabat China bahwa semua peserta pelatihan dari pusat pelatihan keterampilan kejuruan telah ‘lulus’ pada akhir 2019,” tulis peneliti utama ASPI, Nathan Ruser.
“Sebaliknya, bukti yang tersedia menunjukkan bahwa banyak tahanan di luar hukum sekarang sedang didakwa secara resmi dan dikurung di fasilitas keamanan yang lebih tinggi,” lanjutnya.
Para peneliti menggunakan citra satelit, akun saksi, laporan media, dan dokumen resmi tender konstruksi, untuk mengklasifikasikan fasilitas penahanan menjadi 4 tingkatan tergantung pada keberadaan fitur keamanan, seperti tembok perimeter tinggi, menara pengawas, dan pagar internal.
Ditemukan setidaknya 61 lokasi penahanan, yang telah terlihat terdapat pekerjaan konstruksi baru dan perluasannya dalam setahun hingga Juli 2020. Ada 14 fasilitas lagi masih dalam pembangunan, sementara sekitar 70 telah dilepas pagar atau dinding perimeter, yang menunjukkan penggunaannya telah berubah atau telah ditutup.
Tercatat bahwa lebih dari 90 persen situs adalah fasilitas keamanan tingkat rendah. Data fasilitas penahanan merupakan bagian dari Proyek Data Xinjiang, yang mencakup detail, tidak hanya tentang jaringan fasilitas penahanan, yang membuat model animasi 3D, tetapi juga situs budaya di kawasan itu seperti masjid.
Ruser mencatat bahwa banyak pusat yang telah diperluas adalah fasilitas keamanan yang lebih tinggi. Sementara, fasilitas yang lain dibangun dekat dengan kawasan industri.
Menunjukkan bahwa mereka yang telah didakwa mungkin juga telah dikirim ke kompleks pabrik bertembok untuk bertugas kerja paksa. Politisi di AS baru-baru ini memilih untuk melarang impor dari Xinjiang, dengan alasan dugaan penggunaan tenaga kerja paksa sistematis.
Beijing baru-baru ini menerbitkan buku putih yang membela kebijakannya di wilayah semi-otonom, di mana dikatakan program pelatihan, skema kerja, dan pendidikan yang lebih baik berarti kehidupan telah meningkat.
Secara terpisah, pada hari Kamis (24/9/2020), The Global Times, media yang dikelola pemerintah, melaporkan bahwa dua cendekiawan Australia Clive Hamilton dan Alex Joske telah dilarang memasuki China. Hamilton adalah profesor di Charles Sturt University di Canberra, sedangkan Alex Joske adalah analis di ASPI yang berspesialisasi dalam militer China dan pengaruh internasional Partai Komunis China.
Joske yang dibesarkan di China, mengatakan dirinya tidak mengajukan visa China selama bertahun-tahun karena risikonya terlalu tinggi. Menurutnya, larangan memasuki China tersebut adalah yang terbaru dari serangkaian upaya Partai Komunis China untuk menghukum mereka yang menyoroti kegiatannya. [wip]