(IslamToday ID) – Presiden Perancis Emmanuel Macron terpaksa tampil di media Al Jazeera dalam rangka untuk memadamkan dampak yang semakin besar dari protes dan seruan boikot terhadap produk Perancis di seluruh dunia.
Dalam wawancara eksklusif itu, Macron berusaha menjelaskan latar belakang ketegangan antara Perancis dan dunia muslim yang telah mencapai titik puncak yang berpotensi menghancurkan bisnis Perancis.
Ada protes di seluruh dunia, serta seruan luas untuk memboikot Perancis atas kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad oleh majalah Charlie Hebdo.
Selain Charlie Hebdo, masalah lain sebenarnya adalah pernyataan kontroversial Macron tentang Islam yang disebut dalam kondisi krisis, serta RUU Separatisme Islam di Perancis. Hal itu telah memancing kritik keras dari seluruh dunia muslim.
Macron dianggap telah mendukung kartun nabi, namun dalam wawancaranya di Al Jazeera tampaknya tidak mau mengakui.
Jika umat muslim mengharapkan permintaan maaf dari Macron, maka mereka tidak akan mendapatkannya. Yang mereka dapatkan justru Macron memaklumi kemarahan umat Islam tentang sosok panutan yang mereka agungkan.
Dalam wawancara yang panjang, Macron berpendapat bahwa tujuan pemerintahannya adalah untuk memastikan bahwa wanita muslim dibebaskan dari apa yang ia anggap sebagai batasan konservatif.
Namun tidak semua orang setuju, dengan seorang analis menyatakan Macron tidak mengejar Islamisme, sehingga keluarga muslim tradisionalis akan merasa dirinya menjadi sasaran.
Prof Arsalan Khan, seorang antropolog yang mempelajari gerakan Islam di Pakistan, berpendapat bahwa wawancara Macron menyiratkan bahwa kesetaraan gender adalah ciri khas budaya Perancis dan sekularisme dan peradaban Barat secara lebih luas.
Hal itu kemudian disandingkannya dengan Islam dan muslim yang implikasinya menjadi pertanda nilai-nilai agama dan gender yang berbahaya dan dianggap merusak budaya, sekularisme, dan peradaban Perancis.
Khan, berbicara kepada TRT World, Selasa (3/11/2020), melanjutkan bahwa Macron menghapus fakta bahwa ketidaksetaraan gender bukan hanya muslim dan merupakan ciri khas masyarakat Perancis.
Di Perancis, gagasan ekstremisme didefinisikan dengan sangat longgar dan bagi banyak muslim ini telah menjadi istilah umum yang digunakan oleh Perancis yang menempatkan praktik Islam sehari-hari mereka di bawah pengawasan negara.
Sebagai bagian dari upayanya untuk mengatasi ekstremisme, Perancis telah mengeluarkan undang-undang yang melarang gadis muslim mengenakan jilbab ke sekolah, dan lebih luas lagi, melarang wanita muslim mengenakan cadar di depan umum.
Tak lama setelah upayanya menjelaskan kepada muslim di Al Jazeera, Macron menggunakan Twitter untuk menyatakan bahwa sekularisme tidak pernah membunuh siapapun. Pernyataan itu dipahami secara luas untuk membandingkannya dengan Islam.
Shadi Hamid, seorang rekan senior di Institut Brooking yang berbasis di AS, berpendapat bahwa pernyataan Macron itu tidak membantunya untuk menjebak muslim Perancis.
“Pemerintah Perancis semakin menstigmatisasi seluruh kelompok karena tindakan ekstremis individu. Seharusnya tidak ada asumsi kesalahan kolektif. Tindakan teroris tidak boleh digunakan untuk mendelegitimasi muslim Prancis. Tapi itulah yang terjadi,” tambah Hamid.
Menanggapi pidato tersebut, seorang aktivis Perancis dari Komite Keadilan dan Kebebasan Sipil untuk Semua, Yasser Louati mengatakan Macron tidak mengkomunikasikan apa yang terjadi di lapangan di Perancis.
Dalam jangka panjang, sulit untuk mengukur apa dampak pidato Macron, tetapi ia telah kehilangan kesempatan untuk percakapan yang tulus.
Khan berpendapat bahwa bagi banyak muslim di Barat, pernyataan Macron berbahaya karena menstigmatisasi syariat Islam. Ini kemudian memperkuat penargetan negara, pengawasan dan regulasi muslim serta melegitimasi bentuk prasangka dan rasisme sehari-hari.
Selain itu, ini adalah gangguan karena menganggap bahwa militansi radikal adalah hasil langsung dari ketaatan beragama, yang sebenarnya tidaklah demikian.
Pendekatan Macron terhadap muslim Perancis sejauh ini karena faktor politik, yakni popularitasnya yang terus anjlok karena tergerus oleh saingannya, Marie Le Pen.
Pemerintahannya yang semakin kehilangan kebijakan, perlu menyatukan negara dari semua warna. Sebaliknya, ia memilih menstigmatisasi muslim yang mungkin bisa membuahkan hasil dengan menaikkan popularitasnya. [wip]