(IslamToday ID) – Perancis menyebut boikot produknya di beberapa negara Timur Tengah tidak berdasar. Perancis menyebut boikot itu dilakukan oleh minoritas radikal.
Melalui media sosial, kampanye memboikot produk Perancis itu sebagai respons atas pernyataan Presiden Perancis, Emmanuel Macron yang menyebut Islam adalah agama krisis.
Macron telah memantik kemarahan umat muslim dunia karena dinilai telah mendukung penerbitan karikatur Nabi Muhammad dengan kedok kebebasan berekspresi.
Nabi Muhammad adalah figure yang sangat dihormati oleh umat Islam, dan segala jenis penggambaran visual tentang sosoknya dilarang dalam Islam. Karikatur itu dipandang umat Islam sebagai sikap menyerang dan Islamofobia karena dianggap mengaitkan Islam dengan terorisme.
Ketika boikot meningkat, Macron pada hari Ahad (1/11/2020) mengukuhkan pendiriannya dan berjanji bahwa negaranya tidak akan menyerah selamanya pada kartun.
“Kami tidak menerima perkataan yang mendorong kebencian dan kami membela debat yang masuk akal,” katanya di Twitter. “Kami akan selalu berpihak pada martabat manusia dan nilai-nilai universal.”
Marginalisasi Muslim Perancis
Sejak 1905, Perancis telah mengadopsi nilai laicite atau sekularisme, yang memaksa negara untuk tetap netral, yaitu tidak mendukung atau menstigmatisasi agama manapun.
Dengan runtuhnya kekaisaran Perancis setelah Perang Dunia II, masyarakat Perancis yang sebagian besar homogen di wilayah metropolitan berubah dalam semalam dan menjadi rumah bagi banyak bekas penjajah dan keturunan mereka, terutama dari Afrika Utara dan Barat.
Namun, reaksi negara Perancis terhadap Islam di wilayahnya sendiri, sebagian didorong oleh kekalahan traumatisnya di Aljazair, telah menghasilkan peraturan yang menargetkan keberadaan Islam. Menurut negara, muslim Perancis hidup dalam masyarakat kelas dua.
Pada tahun 2004, Perancis menjadi negara Eropa pertama dan satu-satunya yang melarang jilbab di sekolah umum. Beberapa tahun kemudian, Perancis juga mengesahkan undang-undang yang melarang pemakaian cadar bagi wanita muslim.
Undang-undang tahun 1978 melarang negara Perancis mengumpulkan statistik tentang ras, agama, atau etnis. Tapi kebangkitan Islamofobia dalam beberapa tahun terakhir telah didokumentasikan oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia dan masyarakat sipil, seperti Kolektif melawan Islamophobia di Perancis yang dikenal sebagai CCIF.
Pernyataan Macron tentang upaya untuk mereformasi Islam, sebuah agama yang berusia lebih dari 1.400 tahun dan dianut oleh 2 miliar orang di seluruh dunia, adalah langkah yang ambisius dan provokatif. Beberapa aktivis mengatakan pemerintah seharusnya menginvestasikan lebih banyak upaya dalam mengatasi marjinalisasi muslim Perancis di Banlieues, atau Ghetto Surburban di negara itu.
Penduduk di daerah itu yang merupakan keturunan Afrika dan Timur Tengah, merasa terasing dan menderita karena tingkat pengangguran yang tinggi, serta pelayanan sosial yang buruk. Mereka telah terpinggirkan dalam segala hal, mulai dari transportasi umum dari Banlieues ke pusat kota Paris.
Sejak 2012, ada 36 serangan yang dilakukan oleh minoritas muslim pinggiran di tanah Perancis. Tapi bukannya menangani akar penyebab dari serangan itu, Perancis malah mengalihkan perhatiannya dan fokus pada keseluruhan warga muslimnya, seolah-olah mereka adalah sumber masalah itu, padahal sebenarnya tidak.
Pemilihan Presiden 2022
Macron telah berjanji untuk mengajukan RUU pada 9 Desember untuk memerangi apa yang ia sebut separatisme Islam dengan melarang “impor” para imam masjid yang didanai dan dilatih pihak luar negeri.
Ia juga mengusulkan keringanan pajak dan pendanaan negara untuk masjid-masjid yang menandatangani piagam yang menerima prinsip-prinsip sekularisme, demokrasi, dan supremasi hukum Perancis.
Langkah-langkah dalam lingkungan politik yang semakin populis terhadap komunitas muslim Perancis yang diperangi ini dapat dilihat dalam konteks untuk menopang basis Macron menjelang pemilihan presiden 2022.
Segera setelah pidatonya tentang Islam dalam krisis, beberapa analis mengatakan Macron menjadi calo sayap kanan.
Saat ini, Macron sedang berselisih pendapat dengan pemimpin sayap kanan Marine Le Pen, yang secara lahiriah mendukung pandangan Islamofobia. Pada 2017, Macron dan Le Pen berhasil mencapai putaran kedua dan terakhir pemilihan. Ia berusaha keras untuk menghindari skenario yang sama yang muncul dalam waktu dua tahun.
Tapi terkadang, komentar pemerintahannya tentang muslim sedikit berbeda dari komentar populis.
Menteri Dalam Negeri Perancis, Gerald Darmanin mengatakan Perancis sedang menghadapi perang saudara, yakni sekularisme melawan separatisme Islam. Ia menyerukan agar lorong makanan etnis di supermarket ditutup, sebuah pernyataan yang memancing bullyan di media sosial.
Bulan lalu, seorang anggota parlemen dan anggota partai Macron En Marche, mengatakan seorang warga negara yang mengenakan jilbab tidak sesuai dengan partisipasi di ranah publik dan sipil.
“Saya tidak dapat menerima bahwa seseorang datang untuk berpartisipasi dalam pekerjaan kami di Majelis Nasional dengan mengenakan jilbab,” kata Anne-Christine Lang, sebelum berjalan keluar sebagai bentuk protes terhadap kehadiran seorang wanita muslim berjilbab di institusi tersebut.
Dua tahun sebelumnya, Macron sendiri mengatakan bahwa jilbab tidak sesuai dengan kesopanan negara Perancis.
Reaksi Dunia
Sikap Macron terhadap Islam telah membuat jengkel masyarakat muslim dunia. Perdana Menteri Pakistan Imran Khan menuduh Macron memecah belah dan mendukung Islamofobia.
“Ini adalah saat ketika Pres (ident) Macron bisa memberikan sentuhan penyembuhan dan menyangkal ruang bagi para ekstremis daripada menciptakan polarisasi lebih lanjut dan marginalisasi yang pasti mengarah pada radikalisasi,” kata Khan dalam serangkaian tweet-nya.
Pada hari Jumat, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengutuk pernyataan Macron dan menyebutnya sebagai serangan berkelanjutan Perancis terhadap Muslim.
OKI terkejut bahwa retorika menyerang itu telah digunakan oleh pejabat tinggi hanya untuk kepentingan politik, sehingga bisa memicu kebencian.
Kementerian Luar Negeri Kuwait juga mengkritik kebijakan diskriminatif yang mengaitkan Islam dengan terorisme. Menurutnya, pernyataan Macron telah mewakili pemalsuan realitas, menghina ajaran Islam, dan menyinggung perasaan muslim di seluruh dunia.
Kementerian Luar Negeri Yordania tidak mengkritik Macron secara langsung, tapi mengutuk berlanjutnya penerbitan karikatur Nabi Muhammad dengan dalih kebebasan berekspresi. Ia juga mengecam setiap upaya diskriminatif dan menyesatkan yang berusaha menghubungkan Islam dengan terorisme.
Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu mengatakan politisi “manja” Eropa harus menghentikan pola pikir fasisnya.
“Ketika kebenaran diucapkan di wajah mereka, rasis pecundang Eropa muncul dan mencoba mengeksploitasi Islamofobia dan xenofobia. Waktunya telah tiba untuk menghentikan politisi manja Eropa dengan pola pikir fasis,” katanya. [wip]