ISLAMTODAY ID — Rekonsiliasi regional antara Qatar dan sejumlah negara Teluk Arab sedang berjalan.
Kini, Arab Saudi setuju membuka kembali wilayah udara, darat, dan lautnya terhadap Qatar mulai Senin (4/1/2021) malam.
Pada Selasa (5/1), Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al-Thani dipeluk secara hangat oleh Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman setibanya di Arab Saudi untuk menghadiri pertemuan tahunan Dewan Kerja Sama Teluk atau GCC.
Sambutan hangat itu menandai berakhirnya perselisihan yang telah berlangsung lama antara Qatar dan sejumlah negara Teluk.
Para analis memandang rekonsiliasi ini bertujuan untuk mendirikan blok kawasan untuk melawan Iran.
“Kesepakatan rekonsiliasi ini dapat digambarkan sebagai upaya penyelesaian krisis Teluk,” jelas Mutahar Al-Sofari, analis politik Yaman, kepada Anadolu Agency.
“Negara-negara GCC mencoba memberikan lebih banyak tekanan pada Iran dan meningkatkan posisi Teluk vis-à-vis Teheran jika AS memutuskan memperketat blokade ekonominya terhadap Iran,” ujar Al Sofari.
Saat membuka KTT GCC di kota bersejarah al-Ula di Saudi, Mohammad bin Salman menyerukan upaya bersama untuk melawan ancaman yang ditimbulkan Iran.
Penguasa de facto dari kerajaan kaya minyak itu mengatakan program rudal nuklir dan balistik Iran serta “rencana subversif dan destruktif” negara itu memerlukan tindakan serius oleh komunitas internasional.
Mohammad Bin Salman mengatakan KTT Teluk akan “inklusif” dan mendorong negara-negara menuju solidaritas dalam menghadapi tantangan di kawasan Teluk.
“Negara-negara GCC sangat perlu menyatukan upaya mereka memajukan kawasan dan menghadapi tantangan yang mengelilinginya, terutama ancaman yang ditimbulkan oleh program nuklir rezim Iran,” jelas MBS.
Para pemimpin negara Teluk Arab menandatangani dokumen selama KTT untuk menyelesaikan perselisihan mereka, meskipun isinya tidak segera dirilis.
Kepentingan Normalisasi Israel
Jelang KTT GCC, Menteri Luar Negeri Kuwait Ahmad Nasser Al-Sabah mengumumkan pembukaan kembali wilayah udara dan perbatasan darat dan laut antara Arab Saudi dan Qatar.
“Ada banyak motif rekonsiliasi ini, termasuk upaya tanpa henti Kuwait untuk menyelesaikan krisis, periode panjang krisis tanpa mencapai perubahan posisi Qatar, serta tekanan Amerika, terutama dari [Presiden Donald] Trump, yang ingin mengukir prestasi sebelum meninggalkan Gedung Putih,” ujar Al-Sofari.
Mutahar Al-Sofari meyakini penurunan ketegangan merupakan “langkah awal” menuju normalisasi hubungan dengan Israel.
“Arab Saudi memiliki motif sendiri dalam rekonsiliasi ini karena ingin membuka hubungan baru di wilayah tersebut dan membuka jalan bagi bin Salman untuk segera menjadi raja Arab Saudi,” pungkasnya.
Kepresidenan Mohammad Bin Salman di KTT GCC Teluk kala itu adalah buktinya.
September lalu, Uni Emirat Arab dan Bahrain menandatangani normalisasi hubungan dengan Israel yang ditengahi AS, diikuti Sudan dan Maroko.
Faktor Ekonomi
Dilansir dari Anadolu Agency, Jaber Al-Harami, Analis politik Qatar, mengatakan tantangan dan risiko utama yang melanda kawasan itu mendorong langkah menuju rekonsiliasi Teluk.
“Tantangan regional dan tantangan Arab Saudi di Yaman, Irak dan Suriah, hubungan dengan Iran dan situasi ekonomi kerajaan yang terpuruk semuanya telah menciptakan keinginan politik yang serius untuk mengakhiri perselisihan dan menyelesaikan krisis,” jelas Al-Harami.
Selama tiga tahun terakhir, baik Riyadh maupun Doha mengalami kerugian besar akibat penurunan harga energi dan dampak pandemi virus korona.
“Setelah tiga setengah tahun, semua pihak telah membayar harga mahal dari krisis ini, dan kedua pihak sampai pada keyakinan tidak ada gunanya dilanjutkan. Sebaliknya, keberlanjutan krisis akan menyebabkan kerugian besar bagi GCC secara keseluruhan,” ujar Al-Harami.
GCC juga terpuruk akibat perselisihan di antara negara Teluk karena blok tersebut gagal bekerja sebagai satu badan.
Langkah Diplomatik Trump
Karena Qatar menjadi tuan rumah pangkalan militer AS terbesar di Timur Tengah, pemerintahan Trump khawatir keretakan antara sekutu regional Washington telah melemahkan upayanya menciptakan blok regional melawan Iran.
Para analis percaya pemerintahan Trump telah menekan negara-negara Teluk untuk menyelesaikan perselisihan tersebut sebab Trump ingin mengklaim kemenangan diplomatik sebelum Presiden terpilih Joe Biden menjabat pada 20 Januari.
“Ada dukungan Amerika dalam mediasi Kuwait, yang telah memainkan peran penting dalam mencapai solusi dalam krisis ini. Kuwait telah memulai proses mediasi sejak saat-saat pertama krisis. Almarhum Syekh Sabah Al-Ahmad memulai prosesnya dan kemudian Emir Kuwait saat ini Syekh Nawaf Al-Ahmad melanjutkan usaha ini,” pungkasnya.
Menantu Trump dan penasihat senior Jared Kushner terlihat di ruangan itu dalam tayangan televisi saat putra mahkota Saudi menyampaikan pidatonya selama KTT GCC.
Pada 5 Juni 2017, Arab Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir memblokade Qatar dan menuduh negara Teluk itu “mendukung terorisme” serta terlalu dekat dengan Iran.
Qatar, meski begitu, menolak tunduk pada permintaan itu, menyangkal tuduhan tersebut dan mendeskripsikan embargo yang dipimpin Saudi ini sebagai “pelanggaran atas kedaulatan nasional” mereka.
Sumber: Anadolu