ISLAMTODAY — Pakar politik menyebutkan perihal kemungkinan normalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Iran sangat kecil terjadi dalam jangka pendek karena perbedaan kedua belah pihak yang signifikan.
Pekan lalu, Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman mengatakan Iran adalah negara tetangga dan Arab Saudi bercita-cita memiliki hubungan yang baik dan terhormat dengannya.
“Kami ingin Iran yang sejahtera dan memiliki kepentingan bersama satu sama lain, tetapi masalah kami adalah tindakan negatif mereka, seperti program nuklirnya atau dukungan untuk milisi terlarang di kawasan itu, atau program rudal balistiknya,” pungkas Mohamed bin Salman (MBS) kepada Al Arabiya TV.
“Kami bekerja dengan mitra kami untuk mengatasi masalah ini, dan kami berharap dapat mengatasinya dan memiliki hubungan yang baik dan positif dengan semua orang,” imbuhnya.
Sementara itu, Pangeran MBS tidak membagikan perincian lebih lanjut, Media Inggris The Financial Times baru-baru ini melaporkan bahwa delegasi Saudi dan Iran bertemu di ibu kota Irak, Baghdad, pada 9 April.
Menurut laporan itu, pertemuan tersebut ditujukan untuk meredakan ketegangan antara rival regional. Serangan terhadap Arab Saudi oleh pemberontak Houthi Yaman juga menjadi bagian dari diskusi.
Model Mesir dan Turki
Prof Cengiz Tomar, Wakil Rektor Universitas Turki-Kazakh Internasional Ahmet Yesevi, mengatakan putra mahkota Saudi mengungkapkan perubahan kebijakan yang signifikan, dilansir dari Anadolu.
Sembari menyebutkan bahwa kebijakan Presiden AS Joe Biden telah memengaruhi Timur Tengah secara signifikan, Prof Cengiz Tomar menekankan bahwa konvergensi Mesir dan Turki adalah contoh terbaik.
Prof Cengiz Tomar mengatakan putra mahkota Saudi tidak hanya berbicara tentang meningkatkan hubungan dengan Iran tetapi juga fokus dalam pidatonya untuk menghilangkan ekstremisme di kerajaan.
Prof Cengiz Tomar mengatakan pernyataan putra mahkota bahwa ada 90 persen konsensus antara AS dan Saudi berarti perang melawan Iran akan dilanjutkan melalui metode yang berbeda di bawah kepemimpinan Washington.
“Pernyataan ini berarti bahwa Arab Saudi tidak akan lagi memerangi Iran dengan mendukung gerakan ekstrem Sunni. Ini adalah perkembangan yang sangat penting bagi seluruh dunia dan Timur Tengah, dan jika itu terjadi, akan membantu memadamkan api yang ada di kawasan itu”, tandasnya.
Normalisasi Tak Dalam Waktu Dekat
Namun, karena Mohamed bin Salman menyebut program nuklir Iran sebagai “masalah negatif”, Prof Cengiz Tomar mengindikasikan bahwa tampaknya sulit untuk melihat perkembangan dalam jangka pendek.
Serhan Afacan, seorang akademisi di Institut Studi Timur Tengah Universitas Marmara, mengatakan bagian yang paling luar biasa dari pidato bin Salman adalah bahwa dia mengatakan mereka bekerja dengan mitra global dan regional untuk menemukan solusi bagi masalah yang sangat sulit diatasi.
Serhan Afacan mencatat bahwa ketegangan antara Syiah Iran dan Sunni Arab Saudi tidak hanya karena perbedaan ideologis.
Ia menambahkan bahwa tujuan utama pernyataan Mohammed bin Salman adalah Amerika Serikat.
Serhan Afacan mengatakan Mohamed bin Salman ingin menyampaikan pesan kepada Washington bahwa mereka tidak bisa menggunakan dirinya untuk menakut-nakuti Iran dan bahwa dia dapat menyelesaikan masalahnya sendiri dengan Iran.
“Untuk Arab Saudi, proksi Iran dan rudal balistik setidaknya menjadi masalah yang sama banyaknya dengan program nuklirnya, dan mungkin bahkan lebih. Dengan kata lain, penting bahwa cara ini berubah menjadi tindakan yang berarti,” tegasnya.
Sementara itu, Rahim Farzam, pakar kebijakan luar negeri di Pusat Studi Iran (IRAM) di Ankara, mengatakan bahwa berita kemungkinan normalisasi antara Iran dan Arab Saudi, yang tidak memiliki hubungan diplomatik sejak 2016, muncul tepat setelah AS mengisyaratkan perubahan dalam pendekatannya terhadap Iran usai berakhirnya pemerintahan mantan Presiden Donald Trump.
Farzam mencatat bahwa Presiden AS saat ini, Joe Biden, menerapkan kebijakan yang sangat lunak terhadap Iran, tidak seperti Trump.
“Washington, yang bahkan tidak bereaksi terhadap penargetan sekutu terpentingnya Israel di Timur Tengah oleh milisi yang didukung Iran, akan menghidupkan kembali kesepakatan nuklir. Sikap Washington yang memprioritaskan diplomasi dengan Iran harus dibaca sebagai pesan yang kuat kepada sekutu AS di Timur Tengah,” jelas Rahim Farzam.
“Diplomasi muncul sebagai pilihan bijak untuk Riyadh. Bagi Iran itu untuk meningkatkan hubungan dengan negara-negara Teluk, khususnya Arab Saudi,” ujarnya.
Namun, Rahim Farzam mencatat bahwa banyak perbedaan mendasar yang harus diatasi agar kedua negara dapat meningkatkan hubungan.
“Oleh karena itu, kecil kemungkinan bahwa negosiasi ini akan menghasilkan hasil yang sukses yang akan menutup kesenjangan antara kedua negara,” tandasnya.
Sumber: Anadolu, Financial Times, Al Arabiya