IslamToday — Mantan Kepala Kehakiman dan tokoh konservatif terkemuka Iran Ebrahim Raeisi pada Kamis (5/8) dilantik sebagai presiden baru negara itu di hadapan pejabat tinggi dan pemimpin asing.
Ebrahim Raeisi mengklaim menang telak dalam pemilihan presiden bulan Juni lalu, di mana dia terpilih dalam pemilu yang jumlah partisipasi terendah dalam sejarah Iran, dan dilantik oleh Ketua Hakim Mohsen Eje’i di parlemen.
Di antara pejabat asing yang menghadiri upacara tersebut adalah Presiden Irak Barham Salih, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani, Wakil Presiden Venezuela Menendez Prieto, Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan, Perdana Menteri Aljazair Benabderrahmane, Kepala parlemen Rusia Vyacheslav Volodin dan sejumlah pejabat asing lainnya.
Pejabat senior dari Palestina, Suriah, Turki, Lebanon, India, Pakistan, dan Uni Eropa juga nampak hadir dalam acara tersebut.
Dalam sambutan pembukaannya, Ketua Parlemen Iran Mohammad Baqer Qalibaf menyebut babak politik baru dimulai dan dia memberikan dukungannya kepada sekutu dekatnya yang konservatif.
Qalibaf mengatakan Iran “berdiri teguh” dalam perang melawan “hegemoni global,” serta menegaskan kembali dukungan parlemen kepada pemerintah baru Iran.
Lawan Embargo Minyak, Sanksi AS dan Perbankan Internasional
Dalam pidato usai disumpah oleh parlemen, Raisi menjanjikan akan berupaya membebaskan Iran dari embargo ekspor minyak oleh Amerika Serikat dan sistem perbankan internasional.
“Rakyat Iran berharap pemerintahan baru akan memperbaiki kehidupan mereka. Seluruh sanksi AS yang tidak sah terhadap Iran harus dicabut,” kata Raisi.
Raisi juga masuk dalam daftar pejabat Iran yang mendapat sanksi dari pemerintah AS selama beberapa bulan karena diduga melanggar hak asasi manusia ketika dia menjabat sebagai seorang hakim.
Raisi dituduh berperang dalam eksekusi ribuan tahanan politik di Iran pada 1988. Meski begitu, Iran membantah tuduhan pembantaian itu.
Di sisi lain, kelompok oposisi di Iran khawatir pemerintahan Raisi yang dekat dengan kelompok garis keras bakal membuat mereka semakin ditekan.
Iran saat ini sedang berupaya keras supaya terbebas dari jerat sanksi ekonomi AS dan dunia akibat program pengayaan uranium dan pembuatan rudal jarak jauh.
Pemerintah AS di masa Presiden Donald Trump kembali menjatuhkan sanksi bagi Iran dan menarik kesepakatan perjanjian nuklir (JCPOA) yang diteken 2015 dengan alasan Iran tetap melanjutkan program rudal jarak jauh dan terlibat dalam sejumlah konflik di Timur Tengah.
Sanksi itu membuat Iran terseok-seok karena mereka kesulitan menjual minyak bumi yang merupakan salah satu komoditas ekspor yang utama ke negara lain. Karena pemasukan negara seret, Iran juga mengalami kesulitan mengimpor komoditas lain, termasuk obat-obatan dan alat kesehatan untuk menghadapi pandemi Covid-19.
Perundingan pencabutan sanksi Iran dan kelanjutan kesepakatan pembatasan pengayaan uranium dengan AS yang digelar di Wina, Austria, terakhir dilakukan pada 20 Juni lalu dan belum menghasilkan kesepakatan apapun.
Selain itu, Iran juga terus bertikai dengan Israel yang menjadi musuh utama di Timur Tengah.
Respon AS
Menanggapi pelantikan Raisi, AS mendesak sang presiden segera melanjutkan perundingan.
“Kami berharap Iran mengambil kesempatan itu karena celah diplomasi tidak akan selalu terbuka,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS, Ned Price.
Sebelum upacara pelantikan, presiden Iran yang baru terpilih mengadakan pembicaraan terpisah dengan para pemimpin dunia yang berkunjung pada Rabu dan Kamis.
Pada Selasa, Raeisi secara resmi disahkan sebagai presiden kedelapan Iran dalam sebuah upacara di Teheran yang dihadiri oleh pejabat tinggi sipil dan militer, menandai berakhirnya dua masa jabatan Hassan Rouhani.[AA/CNN/IZ]