ISLAMTODAY — Sudah sepuluh tahun sejak AS dan sekutu regionalnya melancarkan perang proksi mereka di Suriah.
Perang yang menyebabkan tragedi kemanusiaan yang mengerikan, berkurangnya peran politik Suriah di timur tengah, serta sebabkan ketidakseimbangan regional yang berbahaya.
Namun, akhirnya negara-negara Teluk dan Yordania baru saja sadar akan bahaya meninggalkan Suriah dalam keadaan konflik terus-menerus.
Secara historis, sejak runtuhnya Uni Soviet, Damaskus telah mempertahankan tingkat kecakapan dan pengaruh diplomatik yang tinggi di timur tengah.
Bahkan mampu memaksa AS untuk berkomunikasi melalui Damaskus sebagai perantara antar kekuatan regional di kawasan tersebut.
Suriah modern telah secara efektif menjadi jembatan antara negara-negara Arab di Teluk Persia dan Teheran, dan faktor politik kunci dalam mengamankan tingkat stabilitas di kawasan itu.
Namun semua berubah tatkala pada tahun 2011, AS serta sekutu teluk-nya mendukung perang proksi internasional dan teroris di Suriah, tanpa memahami dampak dari penurunan regional Damaskus pada nasib kawasan Teluk sendiri.
Setelah sepuluh tahun Suriah telah menjadi medan pertempuran bagi kepentingan negara-negara asing mulai dari AS, Prancis hingga Turki dan Rusia.
Dilema Negara Teluk Atas Konflik Suriah
Hari ini, Negara-negara Teluk dan Yordania terjebak keras antara kepentingan geopolitik dan ekonomi mereka sendiri akibat keputusan agresif AS untuk menaklukkan Suriah dengan cara apa pun.
Percobaan mereka meruntuhkan Rezim Suriah melalui perang atau blokade ekonomi telah gagal.
Selain itu Arab Saudi sebagai pemimpin dari negara-negara teluk ini juga dalam masa sulit dan terus mengalami kemunduran.
Akibat Perang berdarah yang dilancarkan oleh Arab Saudi dan sekutunya di Yaman yang ternyata berubah menjadi ancaman strategis bagi keamanan Arab Saudi dan rute laut komersial negara-negara Teluk.
Pengaruh Saudi di Lebanon juga kian surut dalam urusan politik-ekonomi di negara itu.
Lebih penting lagi, Saudi dan negara teluk lainnya melihat bagaimana Suriah kini telah menjadi pangkalan maju bagi pasukan Rusia, yang memberi Moskow pandangan strategis tentang Mediterania dan Inisiatif Sabuk dan Jalan China.
Situasi mendesak inilah yang membuat Saudi mulai mengendurkan tekanannya terhadap Suriah apalagi terbukti AS tak dapat diandalkan.
Saudi perlahan memulai jalur komunikasi rahasia, yang paling menonjol adalah dugaan pertemuan antara kepala Kantor Keamanan Nasional Suriah, Mayor Jenderal Ali Mamlouk, dan Pangeran Muhammad Bin Salman.
Lalu, kunjungan Direktur Intelijen Saudi Khaled Humaidan ke Damaskus pada Mei tahun ini.
Dalam agenda kontak Saudi-Suriah ada dua hal utama: mengekang Turki dan meredakan ketegangan dengan Teheran.
Sebuah sumber diplomatik Arab menegaskan bahwa “Saudi hampir membuka kedutaan mereka di Damaskus, jika bukan karena tekanan Amerika.”
Setelah mengendurnya tekanan Saudi tak heran bila negara-negara seperti Oman, Aljazair, Tunisia dan Irak, yang telah mempertahankan hubungan diplomatik dengan Damaskus selama kekacauan, mulai menuntut kembalinya Suriah ke Liga Arab.
UEA, yang mempertahankan jalur komunikasi dengan Suriah selama perang 10 tahun, saat ini berada di garis depan upaya mendorong negara-negara Arab menuju normalisasi hubungan dengan Damaskus.
Peran Emirat ini, seperti yang dijelaskan oleh lebih dari satu pengamat, didorong oleh keinginan Abu Dhabi untuk mengekang ambisi regional Turki.
Sumber juga mengkonfirmasi bahwa UEA akan mengambil langkah yang lebih impulsif menuju Damaskus, jika bukan karena tekanan Amerika.
Di Yordania, takhta Raja Abdallah semakin rentan akibat sekutu-sekutunya di Teluk dan Israel yang telah mengkhianatinya, sehingga dia telah bergerak untuk memperkuat hubungannya dengan Mesir dan Irak dan untuk membangun kembali hubungan dengan Suriah.
Sumber mengatakan Abdallah membahas normalisasi selama kunjungan terakhirnya ke Washington, di mana ia berusaha untuk melunakkan posisi Washington di Damaskus.
Yordania membuka kembali penyeberangan perbatasan Naseeb-Jaber ke Suriah pada bulan April jalur vital bagi Yordania yang dilanda pandemi dan ekonomi yang lesu.
Sebuah pertemuan tingkat menteri di Amman, yang diadakan pada tanggal 8 September antara menteri energi Suriah, Lebanon dan Yordania, tampaknya merupakan langkah lain untuk memecahkan pengepungan diplomatik dan politik di Suriah.
Melalui pengumuman Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah bahwa dia akan mengimpor minyak dari Iran melalui Suriah membuat murka AS.
Namun Lebanon yang tengah mengalami krisis energi itu tak pedulikan murka AS tersebut dan segera bergegas mencabut larangan impor bahan bakar melalui Suriah.
Sebetulnya Kepala Keamanan Umum, Mayor Jenderal Abbas Ibrahim, telah mencoba beberapa kali untuk membuka jalur diplomatik ini, tetapi gagal karena ketakutan Lebanon akan sanksi Amerika.
Demikian juga, Presiden Lebanon Michel Aoun, yang setiap upaya dan niatnya digagalkan oleh AS.
Namun, untuk kali ini Lebanon mengambil langkah berani setelah mengerti bahwa AS penyebab utama kesulitan di negara itu.
Bukan hanya Lebanon yang akan mendapat jalan keluar dari kesulitannya tetapi jug Suriah.
Karena apapun hasil negosiasi untuk mengimpor minyak, gas dan listrik dari Mesir, Iran dan Yordania ke Lebanon melalui Suriah, penerima manfaat terbesar dari ini adalah Damaskus.
Suriah tidak diragukan lagi akan menggunakan celah ini untuk kembali menjadi pemain utama dalam berbagai isu penting dikawasan Teluk.
Stabilitas Suriah Akan Segera Terjadi
Dengan stabilisasi kawasan Suriah yang akan segera terjadi, membuat sebagian besar negara-negara Teluk mengembalikan perwakilan diplomatik mereka di Suriah, baik dengan mengirim duta besar atau konsulat kembali ke ibukota Suriah.
Banyak negara Eropa, di antaranya Republik Ceko, Austria, Yunani, Italia, Spanyol, dan Rumania, telah memulai atau menyatakan rencana untuk membuka kembali kedutaan mereka di Damaskus.
Selain itu kembalinya Suriah ke Liga Arab tetap paling ditunggu oleh setiap negara di Teluk dan Timur Tengah demi mengembalikan kestabilan di kawasan tersebut.