ISLAMTODAY ID-PM Sudan yang digulingkan Abdalla Hamdok dan istrinya diizinkan pulang, sehari setelah mereka ditahan ketika militer merebut kekuasaan dalam kudeta, menurut sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh kantornya.
Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok telah dibawa pulang, ujar kantornya, setelah seharian mendapat tekanan internasional yang intens menyusul pemecatannya dalam kudeta militer.
Hamdok “di bawah pengawasan ketat” sementara para menteri dan pemimpin sipil lainnya tetap ditahan, kantornya menambahkan Selasa (26/10) malam setelah tentara membubarkan lembaga-lembaga Sudan pada Senin (25/10).
“Perdana menteri … telah ditemani kembali ke rumahnya sendiri di distrik Kafouri dan langkah-langkah keamanan telah dilakukan di sekeliling rumahnya,” ujar seorang sumber, seperti dilansir dari TRTWorld, Rabu (27/10).
Pejabat itu tidak mengatakan apakah Hamdok bebas bergerak atau menelepon.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken segera berbicara dengan Hamdok, ujar Departemen Luar Negeri.
“Menteri menyambut baik pembebasan Perdana Menteri dari tahanan dan mengulangi seruannya kepada pasukan militer Sudan untuk membebaskan semua pemimpin sipil yang ditahan dan untuk memastikan keselamatan mereka,” ujar juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price dalam sebuah pernyataan.
Kemarahan Internasional
Pemimpin kudeta dan panglima militer Abdel Fattah al Burhan sebelumnya pada hari Selasa (26/10) mengatakan bahwa Hamdok “di rumah saya … (dan) dalam keadaan sehat”.
Perkembangan ini muncul ketika seruan internasional untuk pembebasannya berlanjut sehari setelah kudeta yang dipimpin oleh jenderal militer tertinggi negara itu.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menuntut Hamdok “segera dibebaskan” setelah Dewan Keamanan mengadakan pertemuan darurat di Sudan.
Tuntutan Guterres menambah seruan kecaman oleh AS dan kekuatan Eropa terhadap perebutan kekuasaan militer Sudan.
Uni Eropa juga mengancam akan menangguhkan dukungan keuangan untuk Sudan jika militer tidak segera membebaskan para pemimpin sipil dan membiarkan pemerintah transisi tetap berkuasa.
“Upaya untuk melemahkan transisi Sudan menuju demokrasi tidak dapat diterima. Jika situasinya tidak segera dibalik, akan ada konsekuensi serius bagi komitmen UE, termasuk dukungan keuangannya,” ungkap kepala diplomatik UE Josep Borrell memperingatkan dalam sebuah pernyataan pada hari Selasa (26/10).
Penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan juga mengatakan pada hari Selasa (26/10) bahwa pemerintahan Biden telah melakukan kontak dekat dengan negara-negara Teluk tentang situasi di Sudan.
AS sedang melihat berbagai alat ekonomi yang tersedia untuk mengatasi situasi tersebut, ujarnya.
Reaksi Internasional
Duta besar Sudan untuk 12 negara, termasuk Amerika Serikat, Uni Emirat Arab, China, dan Prancis, telah menolak pengambilalihan militer tersebut, ungkap seorang sumber diplomatik kepada Reuters.
Duta Besar untuk Belgia dan Uni Eropa, Jenewa dan badan-badan PBB, Cina, Afrika Selatan, Qatar, Kuwait, Turki, Swedia dan Kanada, juga menandatangani pernyataan tersebut, yang mengatakan para duta besar memihak perlawanan rakyat terhadap kudeta.
Deklarasi Burhan tentang keadaan darurat dan pembubaran pemerintah memicu reaksi internasional langsung.
Amerika Serikat, pendukung utama transisi Sudan, mengutuk keras tindakan militer dan menangguhkan bantuan ratusan juta dolar.
Lebih lanjut, Sudan berisiko “kembali ke periode dijauhi oleh seluruh dunia” dan kehilangan bantuan keuangan yang sangat dibutuhkan, ungkap Alex de Waal, pakar veteran di Sudan yang merupakan direktur eksekutif Yayasan Perdamaian Dunia.
Sebuah troika negara-negara yang sebelumnya terlibat dalam mediasi konflik Sudan, AS, Inggris dan Norwegia, mengatakan “tindakan militer merupakan pengkhianatan terhadap revolusi”.
Uni Eropa, Uni Afrika dan Liga Arab juga menyatakan keprihatinan.
‘Tidak Untuk Aturan Militer’
Warga yang marah berdiri di jalan-jalan yang dibarikade di mana ban dibakar, meneriakkan “Tidak untuk aturan militer” pada hari Selasa (26/10), sehari setelah setidaknya tujuh orang dilaporkan ditembak mati oleh pasukan keamanan.
Pasukan keamanan Sudan menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa yang memblokir jalan utama di ibu kota Khartoum, ujar saksi.
Konfrontasi terjadi di distrik Bari di mana pasukan keamanan berusaha untuk mengusir pengunjuk rasa yang memblokir jalan dengan batu, ungkap para saksi mata.
Kementerian Informasi pada hari Selasa (26/10) menyampaikan pernyataan dari kantor perdana menteri yang menuntut pembebasannya segera.
Pernyataan itu menyerukan “pembebasan semua orang” yang ditangkap pada hari Senin (25/10), termasuk istri Hamdok, beberapa menteri dan anggota sipil dewan pembagian kekuasaan negara itu.
(Resa/TRTWorld)