ISLAMTODAY —Dua pertanyaan perlu dijawab untuk memahami perilaku paradoks Amerika terhadap Suriah dan Lebanon dalam beberapa pekan terakhir.
Perang asimetris yang di sponsori AS selama bertahun-tahun telah membuat negara-negara ini dalam keadaan kacau dan perang.
Tetapi sekarang, entah kenapa, Washington tampak bersemangat untuk mengamankan sumber energi vital bagi kedua negara dengan mengimpor gas Mesir melalui Yordania.
Apakah tawaran AS ditujukan untuk mencegah ledakan krisis ekonomi dan kemanusiaan di negara-negara ini?
Atau apakah ini cara AS untuk memajukan “normalisasi energi” diam-diam dengan Israel sehingga dapat menjadi pusat energi yang memasok kebutuhan strategis sekutu kesayangannya itu?
Proyek AS dan sekutunya untuk membuat Yordania, Teluk, Turki, NATO, Israel menjadi satu gerbong dalam menangani masalah Suriah telah lama di sebut sebagai Operasi Komando Militer (MOC) guna menggulingkan pemerintah Suriah.
Selain itu juga mengalahkan Poros Perlawanan, dan melemahkan Rusia-Cina di kawasan teluk dan timur tengah secara keseluruhan.
Langkah-langkah perdamaian baru-baru ini oleh raja Yordania terhadap Suriah dan Lebanon tidak lebih dari pembaruan tiga peran fungsional Amman sebagai pangkalan Amerika yang ‘aman’.
Bukan kebetulan Raja Yordania Abdullah mulai membuat perbaikan dalam menangani masalah Suriah.
Hal itu karena pertama, ada peningkatan peran militer yang datang dengan masuknya pasukan AS dalam skala besar dari Qatar dan Kuwait ke Yordania.
Kedua, ada peran diplomatik Yordania yang memungkinkan kedutaan AS untuk menjadikan Yordania tuan rumah pertemuan regional di Timur Tengah.
Ketiga, adalah peran ekonomi Yordania yang memudahkan jalan bagi perusahaan-perusahaan besar AS untuk mengendalikan sumber energi baru dan mengelola pasokan mereka.
Sementara itu, peran Hizbullah yang semakin meningkat di Lebanon telah mendorong AS menemukan kawasan baru yang lebih strategis.
Jadi AS sekarang mengincar Yordania sebagai alternatif Lebanon guna memungkinkan Yordania melakukan tindakan perbaikan hubungan dan kerjasama dengan pemerintahan Assad di Suriah.
Tujuannya tak lain adalah untuk menghalangi proyek konektivitas Jalur Sutra yang di sponsori China di Suriah yang sebenarnya telah disepakati kedua belah pihak.
Mengapa AS Tiba-Tiba Mencoba Lakukan Perbaikan di Lebanon dan Suriah?
Alasan AS melakukan perbaikan di Lebanon dan Suriah tak lain karena pengumuman Sekjen Hizbullah Hassan Nasrallah bahwa dia akan membawa kapal tanker minyak Iran ke pantai Suriah yang akan di salurkan ke Lebanon.
Pengumuman itu dengan cepat mendorong duta besar AS untuk Beirut Dorothy Shea untuk menghasilkan tawaran balasan: AS menjamin bahwa Lebanon malah dapat mengimpor ‘gas Mesir’ dan ‘listrik Yordania’ melalui Suriah melalui pipa gas Arab.
Sebagai catatan, pipa ini sama sekali bukan milik seluruh negara-negara Arab, tetapi dapat digambarkan sebagai “menghubungkan sejumlah negara di dunia Arab.”
Tepatnya pipa gas Arab terbentuk pada tahun 2003, dimana Suriah, Lebanon, Yordania, dan Mesir menandatangani perjanjian, yang disetujui oleh parlemen masing-masing.
Mereka sepakat menyalurkan gas melalui Pipa dari Al-Arish di Mesir ke Suriah melalui Yordania, melewati Lebanon dan pantai Suriah, dan akhirnya ke Turki.
Perjanjian itu juga berisi syarat utama yang mencegah negara lain untuk bergabung dengan proyek atau menggunakan jaringan pipa tanpa persetujuan dari keempat negara mitra.
Maka tak mengherankan bila kini AS memilih untuk melakukan perbaikan hubungan dengan Lebanon dan Suriah, agar AS mendapat dukungan lebih besar serta dapat mengajak Israel bergabung dengan perjanjian pipa gas Arab ini.
Tentunya ini makin meningkatkan kecurigaan bahwa tujuan utama dari upaya yang dilakukan oleh AS tak lain hanyalah agar negara-negara itu menormalisasi hubungan dengan Israel.
Belum lagi minat AS dan Israel untuk mencegah Iran mengekspor minyaknya, dan memblokir Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) China.
Palestina Alami Kerugian Terbesar dari Kesepakatan Ini
Sejumlah pertanyaan perlu dijawab terkait keputusan AS dan tentunya Israel yang berupaya melakukan kesepakatan pipa gas Arab baru dengan Lebanon, Mesir, Yordania dan Suriah.
Pertama, apakah Mesir memiliki cadangan gas yang cukup untuk diekspor ke Lebanon?
Kemana perginya gas Palestina dari Ashkelon ke Al-Arish?
Apakah semuanya dikirim dan diekspor ke Eropa?
Kerahasiaan yang ketat atas volume pertukaran gas antara Mesir dan Israel, ditambah dengan informasi yang tersedia di media, menunjukkan bahwa produksi gas Mesir tidak cukup untuk kebutuhan domestik sendiri.
Mungkinkah ini alasan keputusan Mesir untuk membeli gas Palestina curian dengan harga lebih tinggi dari harga pasar?
Kedua, perjanjian Yordania-Israel, yang ditandatangani pada tahun 2014, menyebutkan bahwa ekspor gas Palestina yang dicuri dari ladang Leviathan dan Tamar yang diduduki ke Yordania akan dimulai pada tahun 2020.
Ini bukti dimana Palestina adalah negara yang paling dirugikan atas kesepakatan ini ditambah negara-negara yang harusnya melakukan pembelaan atas penjajahan Israel malah berkomplot dalam pencurian besar-besaran ini
Bahkan secara gamblang laporan media Yordania mengkonfirmasi bahwa setidaknya 40 persen listrik dalam negerinya dihasilkan dengan gas Palestina yang dicuri melalui Israel..
Sekali lagi, pertanyaannya muncul:
Apakah AS mengulurkan tangan membantu demi menghindari bencana di Lebanon dan Suriah yang notabene merupakan konflik yang AS ciptakan?
Atau apakah ini taktik Amerika untuk mengeksploitasi diplomasi energi dengan maksud untuk negara-negara itu semakin erat dengan Israel, yang akhirnya mengubah tanah milik Palestina menjadi kota metropolitan ekonomi di timur tengah?,
Bisa jadi ini juga upaya menjebak negara-negara tersebut ke dalam hubungan ketergantungan kepada AS dan Israel. (Rasya)