ISLAMTODAY ID-Warga Kenya yang dipaksa meninggalkan tanah mereka di bawah pemerintahan kolonial Inggris telah mengajukan kasus ke pengadilan tinggi Eropa.
Sekelompok aktivis Kenya mengajukan kasus terhadap Inggris ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) pada hari Selasa (23/8).
Pengacara para korban berpendapat bahwa Inggris telah melanggar Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa yang ditandatanganinya.
Inggris secara konsisten mengabaikan keluhan yang diajukan oleh para korban pemerintahan kolonial.
“Pemerintah Inggris telah merunduk dan menyelam, dan sayangnya menghindari setiap kemungkinan jalan ganti rugi,” ungkap Joel Kimutai Bosek yang mewakili masyarakat Kipsigis dan Talai, seperti dilansir dari RT, Selasa (23/8).
“Kami tidak punya pilihan selain melanjutkan ke pengadilan untuk klien kami sehingga sejarah dapat diluruskan.”
Untuk diketahui, Kerajaan Inggris memerintah Kenya antara akhir abad ke-19 dan 1962. Orang-orang yang tinggal di Lembah Rift dipaksa meninggalkan tanah mereka pada awal abad ke-20.
Saat ini, daerah di sekitar Kericho, kota terbesar di Lembah, adalah daerah penghasil teh utama yang ditanami oleh perusahaan multinasional.
“Saat ini, beberapa perusahaan teh paling makmur di dunia, seperti Unilever, Williamson Tea, Finlay’s, dan Lipton menempati dan mengolah tanah ini dan terus menggunakannya untuk menghasilkan keuntungan yang cukup besar,” ungkap penggugat dalam sebuah pernyataan.
Sebelumnya, Kipsigis dan Talai membawa perjuangan mereka ke PBB, di mana panel investigasi khusus menyatakan “keprihatinan serius” tahun lalu atas kegagalan London untuk mengakui tanggung jawabnya atau mengeluarkan permintaan maaf atas pelanggaran era kolonial.
Keluhan ke PBB ditandatangani oleh lebih dari 100.000 orang yang menderita akibat pemerintahan kolonial atau keturunan mereka, menuntut permintaan maaf dan ganti rugi atas tanah mereka yang diserahkan kepada pemukim kulit putih.
Mengajukan kasus tersebut ke ECHR telah dipuji oleh gubernur Kabupaten Kericho yang akan keluar, Paul Chepkwony, yang mengatakan bahwa itu adalah “hari bersejarah” untuk seluruh wilayah.
“Kami telah mengambil semua langkah yang wajar dan bermartabat. Tetapi Pemerintah Inggris telah memberi kami sikap dingin … kami berharap bagi mereka yang telah menderita terlalu lama, martabat mereka akan dipulihkan, ”ungkap Chepkwony.
(Resa/MEE)