ISLAMTODAY ID-Data pemerintah Sri Lanka menunjukkan bahwa 10% dari usd 51 miliar atau Rp 755 T utang luar negeri adalah pinjaman dari China.
Sebagai perbandingan, lembaga keuangan dan modal ventura yang dipimpin Barat memegang sekitar 80 persen utang.
Negara kepulauan berpenduduk 22 juta orang itu telah menghadapi krisis bahan bakar dan pangan yang parah selama berbulan-bulan.
Presiden Sri Lanka Ranil Wickremesinghe telah mendesak China untuk “secara dramatis mengubah” sikapnya terhadap pengurangan utang karena negara kepulauan itu sedang bernegosiasi keras dengan para kreditur untuk menghidupkan kembali ekonomi yang bermasalah.
Pernyataan itu muncul ketika Dana Moneter Internasional (IMF) bersikeras pada jaminan oleh kreditur Sri Lanka bahwa keberlanjutan utang akan dipulihkan.
“Kami telah memberi tahu pemerintah China [tentang] perlunya merestrukturisasi [utang] dan perlunya semua kreditur menyanyikan dari lembar himne yang sama,” ungkap Wickremesinghe kepada Nikkei, Rabu, seperti dilansir dari Sputniknews, Kamis (25/8)
Menjelang dimulainya putaran kedua negosiasi paket bailout bernilai miliaran dolar untuk Sri Lanka, pemberi pinjaman yang berbasis di Washington itu mengatakan bahwa utang publik Sri Lanka dinilai tidak berkelanjutan.
Perekonomian Sri Lanka senilai USD 81 miliar berhutang USD 51 miliar kepada pemberi pinjaman asing.
Dana kekayaan Barat dan lembaga multilateral memegang sekitar 80 persen dari total utang, menurut data dari Departemen Sumber Daya Eksternal negara itu.
China, Jepang, dan India telah memberikan pinjaman sekitar USD14 miliar kepada negara kepulauan itu.
Akibat krisis neraca pembayaran, negara berpenduduk 22 juta itu gagal bayar untuk tahun ini.
Kekurangan barang-barang penting memicu protes besar-besaran di Sri Lanka, memaksa Presiden Gotabaya Rajapaksa meninggalkan negara itu pada 14 Juli dan mengundurkan diri dari jabatannya.
(Resa/Sputniknews)