ISLAMTODAY ID – Juru bicara kementerian Tanju Bilgic menyatakan bahwa Kementerian Luar Negeri Turki menyerukan Prancis untuk mengakui konsekuensi dari masa lalu kolonialnya tanpa menyalahkan negara lain.
Menurut media Turki, selama kunjungannya baru-baru ini ke Aljazair, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengklaim keberadaan jaringan di Turki, Rusia dan China yang menunjukkan aspirasi neokolonial dan imperialis dan bertindak melawan Prancis di Afrika.
“Kami berharap Prancis akan mencapai kedewasaan sesegera mungkin untuk menghadapi masa lalu kolonialnya tanpa menyalahkan negara lain, termasuk Turki,” ungkap Bilgic dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir dari Sputniknews, Ahad (28/8).
Kementerian menekankan bahwa pernyataan Macron terhadap Turki tidak dapat diterima dan menarik perhatian pada pengembangan hubungan menguntungkan antara Aljazair dan Turki.
“Jika Prancis menganggap bahwa ada reaksi terhadapnya di benua Afrika, ia harus mencari sumber reaksi ini di masa lalu kolonialnya dan upayanya untuk tetap mengejar ini dengan metode yang berbeda dan harus mencoba memperbaikinya,” bunyi dokumen itu.
Lebih lanjut, dia menambahkan bahwa “mengklaim bahwa reaksi ini disebabkan oleh aktivitas negara ketiga, alih-alih menghadapi dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan masa lalu mereka sendiri, tidak hanya untuk menyangkal fenomena sosiologis dan sejarah, tetapi juga mencerminkan mentalitas yang terdistorsi dari beberapa orang politisi.”
Prancis mempertahankan koloninya di Afrika kira-kira sampai tahun 1960-an, menjalankan dominasinya atas Afrika Utara, Barat, dan Khatulistiwa.
Tak lama setelah pembentukan Republik Prancis Kelima pada tahun 1958, negara-negara seperti Aljazair, Maroko, Tunisia, Benin, Burkina Faso, Pantai Gading, Guinea, Mali, Mauritania, Niger, Senegal, Kongo, Chad, dan Republik Afrika Tengah memperoleh kemerdekaan.
Terlepas dari kenyataan ini, Paris gagal untuk sepenuhnya meninggalkan wilayah tersebut.
Lebih lanjut, Parsi terus campur tangan dalam urusan internal wilayah tersebut, termasuk dengan cara militer, mendorong negara-negara seperti Mali untuk menuntut penarikan penuh dan non-intervensi.
(Resa/Sputniknews)