ISLAMTODAY.ID—Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengaku terkejut saat tiba di pemukiman ilegal Yahudi Neve Yaakov di Yerusalem Timur, dimana serangan balasan dari pejuang Palestina mampu menewaskan tujuh warga Israel – dan sepuluh lainnya terluka.
Serangan itu adalah bentuk balasan atas pembantaian Israel atas rakyat Palestina baru-baru ini di Tepi Barat Gaza.
Dalam melakukan serangan balasannya, pemuda bersenjata Khairy Alqam membangkitkan kenangan Palestina dari puncak Intifadah Kedua tahun 2002, dimana pada tahun itu operasi perlawanan Palestina mengakibatkan ratusan kematian orang dipihak Israel.
Selama 75 tahun konflik Arab-Israel, Israel banyak berinvestasi dalam mengembangkan doktrin keamanan yang memaksimalkan penyerangan untuk membunuh rakyat Palestina serta berupaya meminimalkan kerugian di antara warga sipil dan personel militer Israel.
Selain korban dalam perang dengan tentara Arab, statistik dari Kementerian Luar Negeri Israel menunjukkan bahwa 1.194 warga Israel dan turis asing tewas dalam antara tahun 2000 dan 2010, sebagian besar di antaranya meninggal selama Intifadah Kedua (2000-2005).
Doktrin keamanan kejam Israel atas rakyat Palestina terbukti dimana pada tahun 2012, sebuah statistik dari Badan Keamanan Umum Israel (Shin Bet) mengungkapkan bahwa hanya 10 orang Israel (6 pemukim dan 4 tentara) yang terbunuh dibandingkan dengan 174 orang Palestina yang tewas.
Tren ini terus berlanjut selama 18 tahun terakhir kita dipertotonkan kekejaman dan kebiadaban Israel atas Palestina dimana empat perang dahsyat diJalur Gaza yang menewaskan lebih dari 4.549 warga Palestina.
Ironisnya, serangan brutal Israel yang panjang juga disertai dengan ekspansi agresif pemukiman Yahudi di Tepi Barat – merebut kendali atas 70 persen Area C, dan hanya menyisakan 15 persen wilayah Palestina bersejarah di bawah kendali nominal Palestina.
Antara 2005 dan 2021, dengan keluhan keamanan Otoritas Palestina (PA) yang mengatur Tepi Barat, Israel berhasil membangun stabilitas dan kesejahteraan tingkat tinggi bagi warga Yahudinya.
Pengepungan Gaza Langkah Israel Padamkan Perlawanan Palestina
Pada tahun 2005 Israel melakukan penarikan pasukan di Jalur Gaza akibat dari Intifadah 2 yang sangat merugikan Israel.
Tentara Israel lalu membentuk zona penyangga yang luas di sepanjang perbatasan timur yang memisahkan Jalur Gaza dari wilayah Palestina tahun 1948, diperkuat dengan kamera canggih dan senapan otomatis, dan meminimalkan kehadiran warga Israel.
Hal ini berhasil menghilangkan perlawanan Palestina dari keterlibatan militer langsung dan mengurangi kemampuannya untuk melakukan serangan balasan kepada Israel.
Mencegah Perlawanan Rakyat Palestina di Tepi Barat
Pada tahun 2007, Israel dan AS memicu perpecahan berdarah antara Fatah dan Hamas di Tepi Barat, menyebabkan perpecahan yang mendalam dan bertahan lama dalam masyarakat Palestina.
Jenderal AS Keith Dayton, yang ditugasi membangun layanan keamanan “profesional” untuk PA yang berkuasa, memanfaatkan permusuhan antara kedua partai Palestina.
Strategi pecah belah ini secara efektif menghapus pencapaian Intifadah Kedua, di mana para pemimpin dinas keamanan PA membelot ke peran kepemimpinan dalam kelompok perlawanan.
Mereka terutama dipindahkan ke jajaran atas Brigade Syuhada Al-Aqsa – lengan militer Fatah – yang menerima dana dari mendiang pemimpin PLO Yasser Arafat, dan dukungan dari gerakan perlawanan Libanon Hizbullah dan Iran.
PA didorong oleh ambisi Dayton untuk mencegah perlawanan yang berkelanjutan, dan terorganisir di Tepi Barat, yang berpuncak pada penangkapan ratusan anggota Hamas dan penindasan Jihad Islam Palestina (PIJ).
Kader Brigade Al-Aqsa Fatah di Tepi Barat menghadapi pilihan sulit antara dibunuh oleh dinas keamanan Israel atau meletakkan senjata mereka dan bergabung kembali dengan keamanan PA.
Selama periode kekalahan ini, pemuda Palestina yang tidak mengenal Intifadah Kedua mengalami kemunduran mental perlawanan yang parah.
Mereka tidak memiliki pengetahuan organisasi apa pun, atau hubungan penting dengan para pemimpin dan intelektual perlawanan Palestina berpengalaman yang telah menghadapi hukuman mati dan penjara seumur hidup untuk upaya pembebasan mereka.
Sementara itu, Israel dan sekutu baratnya memompa miliaran dolar untuk memupuk “generasi pasca-pemberontakan yang terpecah belah” di Tepi Barat, yang dicirikan oleh kepentingan pribadi dan bentuk pasif dari “perlawanan” – dan penuh dengan slogan-slogan terjajah yang dianut.
“koeksistensi damai”, dan “solusi diplomatik” atas aktivitas pembebasan yang terorganisir, kejam, dan terpadu. Ini adalah narasi berbahaya dan janji palsu yang menidurkan Tepi Barat selama beberapa dekade. Tapi tidak lagi.
Generasi pasca-intifada
Tepi Barat kini telah terbangun setelah masa tidak aktif selama 18 tahun, dan pembalasan terhadap tentara pendudukan.
Dulu dengan angkuh digambarkan sebagai “revolusi TikTok” oleh penulis dan analis Israel, pembalasan Palestina kini telah menjadi “tong mesiu” yang dengan panik coba digagalkan oleh tentara selama 10 bulan, menurut surat kabar Ibrani Yedioth Ahronoth.
Peneliti politik Palestina Majd Dergham menjelaskan fenomena baru ini kepada The Cradle: “Ada generasi [Palestina] yang tumbuh dalam kisah-kisah kepahlawanan dan kesyahidan di Jenin dan Nablus, dan setelah dewasa, kita mulai melihat tindakannya. perlawanan.”
“Generasi intifada kedua telah menghabiskan seluruh energinya, dan diperlukan generasi baru untuk memimpin konfrontasi. Di Jenin, misalnya, 21 tahun setelah pembantaian tahun 2002, mereka yang berperang hari ini adalah saudara laki-laki dan anak laki-laki dari mereka yang terbunuh ketika kamp dihancurkan Isreal dengan kejam”
Persoalan yang dihadapi lembaga keamanan Israel saat ini tidak hanya dalam sel militer perlawanan di daerah-daerah seperti kamp pengungsi Jenin dan Kota Tua Nablus, melainkan dalam peningkatan jumlah operasi serigala tunggal.
“Mereka yang memanggul senjata… Israel tahu siapa mereka dan mengawasi mereka namun Israel tidak dapat mengetahui mereka yang belum terdeteksi dengan senjata,” kata Dergham.
Yedioth Ahronoth mencerminkan pandangan ini: “Yang lebih mematikam adalah serangan individu yang sulit digagalkan, seperti halnya operasi terkoordinasi dengan infrastruktur organisasi… peningkatan serangan individu ini berarti akan ada banyak kematian [Israel] dan dapat menyebabkan gelombang operasi yang lebih besar.”
Generasi Baru Palestina Membawa Perlawanan Baru ke Israel
Tamir Hayman, mantan komandan intelijen militer tentara Israel dan kepala Institut Riset Keamanan Nasional meramalkan bahwa “Israel berada di ambang pemberontakan Palestina ketiga, dan sedang menghadapi dilema intelijen yang nyata dengan generasi baru Palestina yang mengambil inisiatif untuk melakukan operasi secara individu dan non-organisasi.”
Muhammad Souf (18 tahun), yang melakukan penyerangan Ariel pada pertengahan November, dan Khairy Alqam (21 tahun), yang melakukan operasi Neve Yaakov, adalah dua contoh tren yang berkembang tersebut.
Kedua pemuda itu melakukan serangan balasan tunggal sebagai pembalasan atas anggota keluarga yang dibunuh oleh Israel.
Ayah Souf disuntik dengan darah yang terkontaminasi ketika dia ditahan selama Intifadah Kedua, yang kemudian menyebabkan kematiannya.
Pada tahun 1998, tiga tahun sebelum Alqam muda lahir, teroris Israel Haim Perelman membunuh kakeknya, yang juga bernama Khairy Alqam.
Souf dan Alqam tampaknya telah mempersiapkan diri dengan hati-hati, jauh sebelum operasi mereka masing-masing – baik, misalnya, tidak menunjukkan ketertarikan secara terbuka atau diketahui dalam masalah politik.
Di sisi lain, Israel yang merasa jumawa atas kemenangan dari rangkaian kejahatan-kejahatannya yang keji harus membuka mata pada kenyataan bahwa rakyat Palestina tidak tinggal diam dan akan melakukan serangan balasan atas kekejian selama 75 tahun penjajahan berdarah Israel di Palestina. (Rasya)