ISLAMTODAY.ID–Angkatan Darat Filipina mengumumkan pada hari Rabu bahwa mereka akan mengadakan latihan bersama terbesarnya dengan AS pertengahan tahun ini. Ini terjadi menyusul rencana Washington untuk memperluas aksesnya ke pangkalan militer Filipina.
Lalu apa yang memotivasi lonjakan aktivitas militer ini, dan apa tujuan utama Pentagon?
Latihan Balikatan AS-Filipina (Balikatan artinya “bahu-membahu” dalam bahasa Tagalog) akan berlangsung antara akhir April dan Juni, latihan ini menjadi yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir, demikian dikonfirmasi oleh panglima Angkatan Darat Filipina Romeo Brawner Jr.
“Kegiatan akan disebarluaskan ke seluruh pelosok tanah air, banyak dari latihan ini akan dilakukan di area latihan tradisional kami seperti Fort Magsaysay, kami juga memiliki kegiatan Tarlac dan HADR [Bantuan Kemanusiaan dan Bantuan Bencana, di bagian utara negara itu hingga ke selatan,” kata sang jenderal.
“Semua latihan yang kami lakukan adalah untuk menanggapi semua jenis ancaman yang mungkin kita hadapi di masa depan, baik buatan manusia maupun alam,” tambah-nya.
Brawner mengatakan jumlah pasti pasukan AS dan Filipina yang ikut serta dalam latihan masih belum diputuskan, tetapi kemungkinan latihan ini akan di hadiri lebih dari 8.900 prajurit AS dan Filipina, ditambah 40 pengamat Angkatan Pertahanan Australia.
Para diplomat AS menyebut latihan tahunan itu sebagai kunci untuk menjaga “perdamaian dan stabilitas Kawasan Indo-Pasifik,” dan demonstrasi “kekuatan dan tekad aliansi Filipina-AS” dalam “mengejar komitmen bersama untuk pertahanan di Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.”
FOIP
“Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka,” atau FOIP, adalah istilah kunci yang disebutkan para diplomat AS itu.
Secara resmi masuk dalam jargon Departemen Luar Negeri AS pada tahun 2019, itu mengacu pada strategi Washington untuk secara langsung menantang klaim teritorial Beijing di Laut Cina Timur dan Selatan, dan upaya militer dan diplomatik lainnya untuk menahan Beijing di perairan.
AS mengambil posisi aktif dalam sengketa teritorial Laut China Selatan pada tahun 2010, ketika Menteri Luar Negeri saat itu Hillary Clinton mencirikannya sebagai masalah “kepentingan nasional” AS, dan mulai mendorong untuk menopang aliansi bilateral dengan mitra regional, termasuk Filipina.
China, yang telah bekerja dengan negara-negara di kawasan itu untuk mencoba menyelesaikan sengketa teritorial di tingkat lokal sejak 2002, telah berulang kali meminta Washington untuk tidak ikut campur dari sengketa tersebut.
Implikasi Strategis bagi Tiongkok
Filipina adalah sekutu kuat AS melawan Uni Soviet dan China selama Perang Dingin, dengan Washington mendukung Presiden Ferdinand Marcos melawan infiltrasi komunis (negara mengalami pemberontakan komunis selama puluhan tahun, yang didukung oleh Beijing hingga pertengahan 1970-an) .
Sebagai imbalannya, Manila menjamin akses AS ke beberapa pangkalan militer utama, termasuk:
- Pangkalan Udara Cesar Basa dan Benteng Magsaysay di luar Manila
- Pangkalan Udara Mactan-Benito Ebuen, terletak di provinsi tengah Cebu
- Pangkalan Udara Antonio Bautista di Palawan, didekat Laut China Selatn
- Lapangan Udara Lumbia di provinsi Misamis Oriental
Membuat China Terisolasi di Pasifik Tujuan Utama AS
Kepentingan Pentagon adalah menciptakan signifikansi geostrategis Filipina bagi AS melawan China, termasuk upaya untuk melawan jangkauan, dan kecanggihan Angkatan Laut dan Angkatan Udara China yang semakin besar.
Sebab bersama dengan Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan di utara dan Singapura dan Thailand di selatan, Filipina menjadi penghalang alami utama yang membatasi akses Angkatan Laut China ke Samudra Pasifik dan Hindia yang lebih luas.
Konsep yang diuraikan di atas, dan strategi untuk “menahan” China di Pasifik dan Hindia, bukanlah hal baru.
Pada tahun 1951, calon Menteri Luar Negeri Eisenhower John Foster Dulles menguraikan “Strategi Rantai Pulau”.
Menurut skema tersebut, Jepang (termasuk pulau Okinawa yang diduduki oleh AS), Taiwan, Filipina, dan bagian barat laut pulau Kalimantan membentuk “Rangkaian Pulau Pertama”, sementara wilayah antara Yokosuka, Jepang, Guam, dan sampai ke timur Indonesia merupakan “Rangkaian Pulau Kedua”.
Lebih dari 70 tahun setelah dimulainya, Strategi Rantai Pulau tidak kehilangan sedikit pun relevansinya di benak para perencana Pentagon untuk mengepung dan menahan China di samudra.
Bulan lalu, Kepala Komando Mobilitas Angkatan Udara AS Jenderal Mike Minihan menggunakan istilah tersebut dalam memo yang bocor dimana memo itu memprediksi bahwa ketegangan AS-Tiongkok akan meningkat menjadi perang panas pada tahun 2025.
“Tim Manuver Pasukan Gabungan yang dibentengi, terintegrasi, dan gesit siap untuk bertarung dan menang di dalam rantai pulau pertama” adalah “keadaan akhir” untuk pelatihan AS ke depan, tulis Minihan.
“Jika Taktik, Teknik, dan Prosedur yang AS kembangkan meningkatkan kemampuan AMC untuk bertarung dan menang di dalam rantai pulau pertama, Kita akan merasa nyaman,” tegas Minihan.
Membangun Pangkalan Rudal AS di Dekat Perbatasan China
Meskipun konsep Rantai Pulau bukanlah hal baru, rencana Washington untuk militerisasi nuklir yang belum pernah terjadi sebelumnya di kawasan Pasifik merupakan tambahan baru.
Pada tahun 2019, tak lama setelah merobek Perjanjian Pasukan Nuklir Jarak Menengah dengan Rusia, Washington segera memulai penelitian dan pengembangan generasi baru rudal balistik jarak menengah berbasis darat, dan mengumumkan rencana untuk menempatkannya di Asia.
Dimana Korea Selatan, Jepang, dan Filipina dipandang sebagai negara-negara yang paling memungkinkan untuk menjadi tempat penyebaran utama rudal-rudal nuklir ini.
Studi tahun 2019 oleh Stratfor, mengungkapkan pentingnya strategi ini untuk AS, dengan rudal jelajah Tomahawk berbasis darat dan rudal balistik dengan jangkauan 4.500 km yang secara efektif memiliki daya jelajah yang mampu mengancam keseluruhan Asia Utara dan Tenggara, termasuk semua pusat populasi utama China.
Filipina memainkan peran sentral dalam strategi ini. Setiap Tomahawk yang ditempatkan di negara itu akan dapat mengancam seluruh Laut Cina Selatan, garis Rantai Pulau Pertama sampai ke Jepang, dan banyak kota pesisir China.
Rudal balistik jarak jauh, sementara itu, tidak hanya akan mencakup seluruh China, tetapi sebagian besar Rusia di timur Ural, Semenanjung Korea, Jepang, dan Pasifik hingga Hawaii.
Pada tahun 2019, Presiden Filipina saat itu Rodrigo Duterte mengumumkan bahwa dia “tidak akan pernah” mengizinkan AS untuk menempatkan rudal nuklir di negaranya, menekankan bahwa dia tidak berniat membiarkan Washington mengubah negaranya menjadi zona perang dengan China.
Duterte memperingatkan semua negara di kawasan itu “untuk berhati-hati dan tidak mengizinkan” pengerahan rudal AS di wilayah mereka. “Itu tidak akan melayani kepentingan keamanan nasional negara-negara ini,” katanya.
Selama masa jabatannya antara tahun 2016 dan 2022, Duterte dengan hati-hati berjalan di atas tali dalam upaya menyeimbangkan hubungan tradisional dengan Washington, dan membangun hubungan baru dengan Beijing dan Moskow .
Duterte juga berulang kali mengancam akan merobek perjanjian militer dengan AS jika terus menekan Filipina.
Lalu setelah Duterte lengser penggantinya Presiden baru Filipina Ferdinand Bongbong Marcos Jr. menyatakan keterbukaannya untuk melanjutkan langkah Duterte dalam menjaga keseimbangan antara Washington dan Beijing, dan menemukan cara untuk menyelesaikan sengketa teritorial dengan China di Laut China Selatan.
Dalam beberapa bulan sejak itu, sikap Marcos terhadap China tampak memanas, dengan sang pemimpin bersumpah untuk tidak meninggalkan “bahkan satu inci persegi” tanah dalam sengketa Laut China Selatan.”
Selama kunjungan ke Filipina pada bulan November, Wakil Presiden Kamala Harris meyakinkan Marcos bahwa Washington “mendukung” Manila “untuk membela peraturan dan norma internasional yang berkaitan dengan Laut Cina Selatan,” dan bahwa setiap “serangan bersenjata terhadap Angkatan bersenjata, kapal atau pesawat Filipina di Laut China Selatan akan meminta komitmen pertahanan bersama AS.”
Masih harus dilihat apakah Filipina akan membiarkan dirinya tersedot ke dalam strategi “garis pertahanan pertama” Pentagon untuk menahan China.
Manfaat dari hubungan semacam itu dengan Washington sudah jelas – memberikan AS proksi baru yang dapat digunakan untuk berperang dengan musuh globalnya yang paling signifikan tanpa risiko apa pun bagi tanah air AS. Apa yang didapat Manila dari hubungan itu jauh lebih berbahaya dan pastinya merusak. (Rasya)