ISLAMTODAY.ID–Selama dua sesi Kongres Rakyat Nasional (NPC) China mengumumkan bahwa anggaran militernya akan meningkat sebesar 7,2% dari tahun ke tahun dimana pernyataan ini menjadi berita utama di seluruh dunia.
Laporan kerja perdana menteri China, yang diserahkan ke NPC, mengatakan militer negara itu “harus mengintensifkan pelatihan militer dan kesiapsiagaan secara menyeluruh,” karena adanya peningkatan “upaya eksternal untuk menekan dan menahan China.”
Media China menekankan bahwa peningkatan pengeluaran pertahanan sejalan dengan pola pertumbuhan “satu digit” beberapa tahun terakhir (7,1% pada 2022, 6,8% pada 2021, 6,6% pada 2020).
Media Barat mengambil sudut pandang yang jauh berbeda, dengan banyak outlet membuat peringatan wajib dari para analis dan pejabat bahwa pengeluaran militer China yang sebenarnya bisa jauh lebih tinggi daripada anggaran yang diumumkan.
Misalnya The Guardian mengutip Departemen Pertahanan AS yang mengklaim anggaran militer China saat ini bisa mencapai dua kali lebih tinggi.
Outlet-outlet media Barat ini melanjutkan kritiknya ke China soal ukuran angkatan laut dan infanteri China, “militerisasi” Laut China Selatan dan, mengulangi peringatan yang berasal dari Washington DC bahwa “China dapat menginvasi Taiwan” segera.
Peringatan semacam itu dari AS datang bersamaan dengan serangkaian provokasi yang disengaja seperti kunjungan resmi ke Taiwan, dan operasi ‘kebebasan navigasi’ AS.
AS telah memprioritaskan militerisasi kawasan dan mengepung China, menariknya tak satu pun dari langkah-langkah berbahaya AS ini dapat ditemukan dalam laporan media Barat tentang pengeluaran pertahanan Beijing – meskipun secara langsung AS bertanggung jawab atas pertumbuhan anggaran militer China.
Karena upaya AS untuk menahan China, Asia-Pasifik sekarang terkunci dalam perlombaan senjata dan kompetisi militer yang berkembang, dan Beijing tidak punya pilihan selain berpartisipasi.
Washington telah memprakarsai militerisasi kawasan, di bawah label strategi “Indo-Pasifik”, dengan fokus menekan kebangkitan China. Untuk melakukan ini, AS telah membuat blok minilateral yang menargetkan China, salah satunya adalah Quad (Australia, India, Jepang, AS) dan yang lainnya adalah AUKUS dengan Inggris.
Selain itu, AS telah secara dramatis meningkatkan penempatan aset militernya di wilayah tersebut, serta telah mendorong Filipina untuk meningkatkan akses ke pangkalannya, dan juga dengan sengaja mendorong masalah Taiwan dan mundur dari komitmennya yang ada ke China untuk meningkatkan ketegangan regional. .
AS telah secara aktif mempersenjatai sekutu regionalnya juga, contoh yang paling menonjol adalah janji Jepang untuk menggandakan pengeluaran militernya dan membeli ratusan rudal jelajah dari AS.
Militerisasi ini telah melengkapi perluasan paralel sanksi dan embargo yang ditujukan untuk menghancurkan kebangkitan China dalam teknologi canggih, yang menurut AS berkontribusi langsung pada kemampuan militernya.
Dalam pengertian ini, aspek teknologi dan militer dari persaingan China-AS secara intrinsik terkait, semuanya atas nama mempertahankan supremasi AS di Indo-Pasifik.
Jadi menghadapi pengepungan dan persaingan militer yang berkembang ini, bagaimana tanggapan China? Jawabannya adalah terus mengembangkan dan memperkuat militernya, dengan optimisme dapat mengimbangi AS dalam jangka panjang.
Kita perlu mengetahui bahwa Anggaran militer AS tiga kali lipat lebih besar dari anggaran China, tentunya harus disadari bahwa Beijing bukanlah “ancaman” akan tetapi AS-lah ancaman terbesar.
Namun, ini tidak berarti China tidak mampu mengalahkan anggaran militer AS, . Dalam hal jumlah misalnya, China sudah memiliki angkatan laut yang lebih besar dari AS dan kapasitas pembuatan kapal yang lebih besar.
2023 akan menjadi tahun ketegangan yang meningkat secara signifikan, yang dimulai dengan AS memulai badai atas dugaan balon mata-mata China, melanjutkan provokasi di sekitar Taiwan dan menghidupkan kembali teori kebocoran laboratorium Covid-19.
Salah satu tujuan utama dari upaya yang dipimpin AS ini justru untuk memprovokasi Beijing sehingga Washington dapat menyebabkan ketidakstabilan dan karena itu meningkatkan pengaruh geopolitiknya atas negara lain, memutuskan integrasi regional yang positif. Itu sebabnya China perlu berhati-hati.
Dengan Beijing mengakui sedang menghadapi pengepungan AS, China harus mempertahankan kepentingan nasionalnya yang kritis, tetapi bersamaan, China juga perlu memainkan permainan diplomatik untuk meyakinkan negara lain secara bersamaan.
China tidak ingin hubungan dengan India semakin memburuk, atau menimbulkan kecemasan bagi ASEAN di Laut China Selatan, seperti Vietnam, Malaysia, india, atau Filipina.
China juga ingin menghindari Eropa menjadi lebih terlibat secara militer melawan China, yang akan mewakili kesuksesan besar bagi AS.
China berusaha untuk bersikap tegas tetapi juga tenang dan hati-hati. Ada banyak kerugian dalam menghadapi AS yang bermusuhan, tetapi duduk diam bukanlah pilihan. Kompetisi militer telah dimulai, dan itu tidak akan hilang. Beijing harus kuat tetapi juga menghindari situasi yang dapat guncan dunia. (Rasya)