ITD NEWS—Gerakan Sudan terbaru menuju normalisasi dengan Tel Aviv menjadi mungkin hanya setelah terjadinya pertemuan rahasia antara kepala Dewan Kedaulatan Transisi (TSC), Abdel Fattah al-Burhan, dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Uganda, yang menandai titik balik yang normalisasi kedua negara.
Pada Januari 2021, penguasa baru Khartoum menandatangani “Abraham Accords” yang ditengahi AS-UEA, dan pada 2 Februari, Menteri Luar Negeri Israel Eli Cohen melakukan kunjungan bersejarah ke Sudan untuk bertemu dengan Burhan di depan publik.
Perjalanan itu menandai pengakuan Sudan atas Israel, dan bergabung ke dalam kelompok kecil negara-negara Arab yang berfokus pada perlindungan keamanan Tel Aviv.
Akan tetapi, langkah Sudan ini adalah bentuk tindakan pengabaian atas deklarasi soal 3 tindakan lawan Israeloleh Sudan dalam KTT Arab tahun 1967 di Khartoum, dimana deklarasi ini menyatakan tidak ada perdamaian dengan Israel, tidak ada pengakuan atas Israel, tidak ada negosiasi dengan Israel.
Selain itu setelah Sudan melakukan normalisasi hubungan dengan Israel seketika itu juga Sudan meninggalkan sekutu lamanya di Palestina seperti Hamas dan Jihad Islam Palestina (PIJ) dengan keputusannya untuk berhenti menyediakan perlintasan pasokan untuk perlawanan Gaza.
Terlepas dari perkembangan ini, Indeks Opini Arab 2022 yang dirilis pada Januari mengungkapkan bahwa 72,4 persen orang Sudan masih menolak pengakuan Israel.
Pasang Surut Hubungan Sudan-Israel
Kontak Sudan-Israel sudah ada sejak tahun 1950-an. Pada tahun 1951, delegasi besar Israel mengunjungi Khartoum dengan dalih membahas impor barang-barang Sudan, tetapi juga ada di sana untuk menjalin komunikasi dengan berbagai partai politik.
Pada saat itu, Sudan adalah bagian dari Mesir dan sedang mencari dukungan Israel dan AS untuk kemerdekaan dari Kairo. Sementara itu, Israel mengkhawatirkan aliansi Mesir-Sudan di bawah payung nasionalis Arab (Nasserist).
Untuk Partai Umma Nasional, yang dipimpin oleh Abd al-Rahman al-Mahdi Israel dipandang sebagai sekutu potensial melawan pengaruh politik dan militer Mesir di Sudan.
Menurut buku “Perang Rahasia Intelijen Israel” oleh Ian Black dan Benny Morris, negosiasi rahasia terjadi di Istanbul pada tahun 1955, didahului dengan pertemuan di London antara Penasihat Urusan Arab kabinet Israel Josh Palmon dan beberapa pemimpin Partai Umma yang menyatakan sebuah keinginan untuk meningkatkan hubungan dengan Tel Aviv.
Ketika Sudan memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1956, Khartoum telah menjalin hubungan positif dengan Israel, bahkan selama agresi tripartit melawan Mesir tahun itu.
Pada Agustus 1957, Perdana Menteri Sudan Abdullah Khalil bertemu dengan Menteri Luar Negeri Israel Golda Meir di Paris untuk mencoba menetralkan peran Sudan dalam konflik Arab-Israel.
Sebelumnya, Februari itu, Khartoum telah meminta bantuan ekonomi dan militer dari Washington, serta meningkatkan dukungan keuangan dan politik untuk pemerintahan Partai Umma. Sebulan kemudian, Wakil Presiden AS Richard Nixon mengunjungi ibu kota Sudan.
Pengumuman pemulihan hubungan Sudan dengan Israel dan bantuan AS ke Sudan memicu protes besar-besaran yang dipimpin oleh Front Anti-Kolonialisme komunis dan Partai Persatuan Nasional pro-Mesir.
Khalil tidak dapat memobilisasi suara efektif di parlemen dan meminta jenderal militer untuk mengambil alih kekuasaan, yang mereka lakukan melalui kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Ibrahim Abboud pada November 1958.
Hubungan Israel Dengan Kelompok Pemberontak Sudan
Sudan mengejar kebijakan pemulihan hubungan dengan Mesir sebelum pemberontakan populer besar-besaran menggulingkannya pada tahun 1964.
Sebagai tanggapan, Israel mulai menjalin hubungan dekat dengan kelompok pemberontak di Sudan selatan dan memberi mereka dukungan militer dalam perang gerilya yang dilancarkan melawan tentara Sudan.
Selama masa jabatan Uri Lubrani sebagai duta besar Israel di Ethiopia dari tahun 1967 hingga 1972, perwira dan pasukan pasukan khusus Israel dipindahkan ke Sudan selatan, melalui Ethiopia, untuk melatih gerakan separatis bersenjata.
Israel memperkuat hubungannya dengan gerakan Anyanya, milisi pemberontak Sudan paling kuat saat itu. Sejak itu, kedutaan besar Israel di Uganda, Ethiopia, Chad, dan Kongo menjadi tuan rumah pertemuan antara pejabat Israel dan pemimpin gerakan pemberontak.
Setelah Perang Enam Hari pada tahun 1967, Sudan menjadi lebih terlibat dalam kegiatan anti-Israel regional. KTT Arab Keempat diadakan di Khartoum, di mana slogan “Tiga Tidak” didirikan, dan rekonsiliasi terjadi antara dua pemimpin Arab terpenting saat itu, Nasser Mesir dan Raja Saudi Faisal bin Abdulaziz Al-Saud.
Pada tahun 1969, kudeta militer yang dipimpin oleh Muhammad Jaafar Nimeiri menandai tahap yang menentukan dalam sejarah Sudan. Nimeiri membubarkan partai politik dan mendirikan Serikat Sosialis Sudan.
Dia juga memberikan otonomi Sudan selatan, menandatangani perjanjian damai pada tahun 1972 yang mengakhiri perang saudara dan mengantarkan ketenangan selama sebelas tahun.
Kebijakan Nimeiri melawan rencana Israel yang bertujuan mengeksploitasi perang sipil Sudan untuk menemukan pijakan di Tanduk Afrika dan Laut Merah – wilayah yang dianggap penting secara strategis oleh Israel untuk keamanannya.
Akibatnya, dukungan Israel untuk kelompok pemberontak di Sudan selatan menurun akibat rekonsiliasi dan kesepakatan damai antara utara dan selatan.
Hubungan yang Berkembang
Hari ini, Israel memandang Sudan sebagai pangkalan untuk mendukung kegiatan anti-Iran, negara yang mendukung para pemimpin Hamas dan PIJ, dan pintu gerbang konvoi senjata Iran ke faksi perlawanan Palestina di Jalur Gaza.
Di sisi lain, Israel memainkan peran kunci dalam deklarasi kemerdekaan Sudan Selatan setelah mayoritas (98,93 persen) memilih pemisahan diri dalam referendum 2011.
Israel menjadi negara keempat – setelah Sudan, Mesir, dan AS – yang mendirikan misi diplomatik di negara baru tersebut.
Israel juga mendukung pembentukan militer untuk Sudan Selatan, dan menjalin hubungan dengan kelompok bersenjata di wilayah Sudan lainnya seperti Darfur, Nil Biru, dan Kordofan Selatan.
Pada 2017, ada tanda-tanda baru bahwa pemerintah Sudan mungkin mempertimbangkan untuk menormalisasi hubungan dengan Israel.
Wakil Perdana Menteri Sudan dan Menteri Investasi Mubarak al-Fadil al-Mahdi mengumumkan dalam sebuah wawancara televisi bahwa normalisasi dapat dilakukan jika melayani kepentingan Sudan. Belakangan tahun itu, pertemuan antara pejabat Israel dan Sudan berlangsung di Istanbul.
Pada 2019, Direktur Mossad Yossi Cohen dilaporkan bertemu dengan kepala intelijen Sudan, Salah Abdallah Gosh, selama Konferensi Keamanan Munich tahunan.
Sementara komunitas intelijen Sudan awalnya membantah pertemuan tersebut, keterbukaan pemerintah Sudan terhadap Israel mengakibatkan penangguhan beberapa sanksi ekonomi AS terhadap Sudan.
Namun, normalisasi tetap tertahan hingga kudeta militer yang menggulingkan Bashir pada 2019, setelah protes rakyat meletus atas situasi ekonomi negara.
Legitimasi, Harga Normalisasi?
Setelah kudeta, kesepakatan tercapai antara penguasa baru Sudan, AS, dan Israel. AS berjanji untuk membantu Sudan mendapatkan kembali ‘kekebalan kedaulatan’, yang akan melindungi pemerintah Khartoum dari klaim kompensasi apa pun sejak Sudan masuk dalam daftar “negara sponsor terorisme”.
Selain itu, AS dan sekutu internasionalnya berkomitmen untuk mengurangi beban utang Sudan, termasuk pengampunan utang di bawah prakarsa Negara-Negara Miskin Berhutang Berat (HIPC).
Pada 23 Oktober 2020, Presiden AS Donald Trump, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Ketua TSC Abdel Fattah al-Burhan, dan Perdana Menteri Sudan Abdullah Hamdok, mengumumkan dimulainya negosiasi perjanjian kerja sama antara Israel dan Sudan di bidang teknologi, pertanian, penerbangan, dan imigrasi.
Pada Juni 2021, Menteri Kehakiman Sudan Nasreddin Abdel Bari menandatangani Abraham Accords selama kunjungan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin ke Khartoum.
Namun, mengingat permusuhan Sudan yang sudah mendarah daging dan meluas terhadap Israel, patut diperiksa mengapa TSC begitu tertarik untuk menormalisasi hubungan dengan Israel.
Peneliti urusan internasional Sudan Ibrahim Nasser menghubungkan ini dengan “pencarian oleh rezim kudeta Sudan untuk legitimasi internasional. AS, UEA, dan Israel,” katanya, “mengeksploitasi ini untuk menekan Sudan menuju normalisasi.”
“Sejak penggulingan Bashir, kekuatan internal terus bersaing memperebutkan legitimasi untuk memastikan kelangsungan hidup mereka. Normalisasi adalah bagian dari persaingan antara kekuatan-kekuatan ini dan masing-masing dari mereka menampilkan dirinya sebagai otoritas masa depan,” catat Nasser. (Rasya)