(IslamToday ID)—Pengungkapan pertemuan Kementerian Luar Negeri Israel dengan Menteri Luar Negeri Libya Najla Al-Mangoush di Roma telah memicu reaksi keras penolakan dari warga Libya.
Kemarahan dan penolakan masyarakat Libya terhadap normalisasi dengan negara Zionis dalam segala aspeknya, dan desas-desus yang ditimbulkan oleh kebocoran ini membuktikan negara ini masih tengguh pengiriman untuk mendukung rakyat Palestina yang tertindas.
Sementara itu pertemuan antara pemerintah Israel dan Libya ini menyebabkan Cohen dipanggil oleh duta besar AS untuk Israel, demi melayangkan protes pemerintah AS terhadap upaya Cohen tersebut dan menuduh pemerintah Israel meremehkan upaya Washington untuk mendorong normalisasi dengan negara lain.
Normalisasi negara-negara Arab dan Islam dengan rezim zionis Israel selalu berhasil karena adanya t tekanan dari AS, dan tanpa tekanan dan godaannya, negara-negara ini tidak akan mengakui Israel dan menjalin hubungan dengannya.
Oleh karena itu, kita dapat memahami kekesalan besar pemerintah AS atas kebocoran ini dan tuduhannya bahwa Cohen melemahkan upaya mereka.
Perselisihan mengenai kebocoran ini bukanlah yang pertama, karena hubungan antara elit penguasa saat ini di negara Zionis, yang telah menjadi negara agama sayap kanan ekstremis, dan lingkaran Zionis di AS sedang saling berkonflik yang ditandai dengan ketegangan parah yang berasal dari visi AS dan elit Zionis bahwa Israel sedang mencoba mengubah sifat yang telah ditetapkan bagi Negara Israel.
Elit ini berupaya mengubah perilaku pemerintah Israel, yang kini menjadi lebih religius dalam pengertian tradisional dan jauh dari model Barat. Namun demikian, para elit Amerika dan Barat terus mendukung pendudukan secara diplomatis, ekonomi dan militer karena pada dasarnya ini adalah proyek Barat.
Tidak ada bukti yang lebih baik mengenai hal ini selain pernyataan Presiden AS Joe Biden selama pertemuannya dengan Presiden Israel Isaac Herzog: “Jika Israel tidak ada, kita harus menciptakannya.”
Terlepas dari perselisihan ini, pemerintahan Biden terus memberikan tekanan pada negara-negara Arab dan Islam untuk menormalisasi hubungan dengan negara Zionis.
Kemarahan AS sepenuhnya beralasan karena hal itu membahayakan pemerintahan Perdana Menteri Libya Abdel Hamid Dbeibeh dan dapat menyebabkan ketidakstabilan internal di negara yang sulit dikatakan stabil.
Sulit dipercaya bahwa menteri luar negeri Libya melakukan pertemuan tersebut atas inisiatifnya sendiri.
Namun, kebocoran peristiwa tersebut dan reaksi kemarahan serta ketakutan akan dampaknya terhadap kondisi Libya yang tidak stabil telah membuat perdana menteri menyalahkan Al-Mangoush.
Kita dapat memahami inisiatif perdana menteri Libya untuk meredam kemarahan akibat kebocoran tersebut dengan berbicara tentang pembentukan komite investigasi dan mengunjungi Kedutaan Besar Palestina di Tripoli, di mana ia mengumumkan pemecatan Al-Mangoush.
Hal ini menunjukkan bahwa normalisasi dengan pendudukan bukanlah pilihan yang populer atau wajar, melainkan pilihan yang dibuat oleh elit yang percaya bahwa AS memegang kendali penuh.
Menjalin hubungan dengan negara Zionis Israel untuk meningkatkan hubungan dengan Washington.
Kita telah melihat situasi serupa di Sudan setelah jatuhnya rezim mantan Presiden Omar Al-Bashir, di mana berbagai pemimpin Sudan, termasuk kepala Dewan Kedaulatan Transisi Sudan Abdel Fattah Al-Burhan, bergegas menerima delegasi Israel, bertukar kunjungan dan mendirikan hubungan.
Namun, hal ini hanya mengakibatkan ketidakstabilan lebih lanjut, sehingga menjerumuskan negara ke dalam perang internal yang sengit.
Meskipun kepemimpinan Sudan mengharapkan perbaikan ekonomi dan legitimasi sistem pemerintahan melalui normalisasi dan peningkatan hubungan dengan AS, yang terjadi justru sebaliknya.
Kita dapat dengan yakin mengatakan bahwa Sudan sedang melalui fase terburuk dalam sejarahnya.
Hal ini membuat Presiden Asia-Middle East Forum, Dr Mohammad Makram Balawi tanpa keraguan menyimpulkan bahwa keputusan normalisasi yang tidak memiliki legitimasi rakyat akan mempunyai dampak internal yang serius terhadap sistem pemerintahan dalam jangka menengah dan panjang.
Balawa juga mencotohkan bagaimana negara-negara Arab yang sebelumnya melakukan normalisasi dengan pendudukan tidak memperoleh apa-apa.
Jika situasi di dunia Arab dan Islam menjadi stabil dan demokratis, kita akan melihat bahwa hubungan dengan Israel akan berakhir karena memang tidak wajar dan tidak didasarkan pada kepentingan nasional. [sya]