(IslamToday ID)—Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov mengatakan di PBB pada hari Rabu (20/9/2023) bahwa Barat tidak ingin melihat dengan jujur pada asal-usul krisis di Ukraina, dan hanya mencoba menyalahkan Moskow.
“Hari ini, retorika lawan-lawan kita penuh dengan slogan: ‘invasi’, ‘agresi’, ‘aneksasi.’ Dan tidak ada satu kata pun tentang akar penyebab masalah,” ungkap Lavrov dalam pidato di Dewan Keamanan PBB, seperti dilansir dari RT, Kamis (21/9/2023).
Dia melanjutkan dengan menuduh Barat mengembangkan rezim Nazi secara terang-terangan (di Ukraina), yang dengan terbuka mengubah kembali hasil Perang Dunia II dan sejarah rakyatnya sendiri.
“Barat menghindari untuk melakukan diskusi substantif berdasarkan fakta dan menghormati semua prinsip Piagam PBB. Tampaknya, mereka tidak memiliki argumen untuk dialog yang jujur,” ungkap menteri tersebut.
Selain itu, Lavrov juga mengatakan bahwa Moskow terpaksa meluncurkan operasi militer di Ukraina tahun lalu untuk melindungi penduduk Donbas dan telah mengacu pada kegagalan Kiev untuk melaksanakan kesepakatan perdamaian Minsk 2014-2015.
“Barat juga telah mendukung para nasionalis yang berkuasa selama kudeta di Kiev tahun 2014,” ungkap pejabat Rusia.
Lavrov menuduh otoritas Ukraina menghambat negosiasi perdamaian.
Dia mencatat bahwa Presiden Ukraina, Vladimir Zelensky, mengeluarkan dekret pada Oktober 2022, di mana dia menyatakan “tidak mungkin melakukan negosiasi dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin.”
“Jika AS tertarik dengan (negosiasi), saya percaya tidak akan sulit bagi mereka untuk menginstruksi (Kiev) untuk mencabut dekret Zelensky,” ungkap Lavrov.
Negosiasi yang berarti antara Rusia dan Ukraina gagal pada musim semi 2022, dengan kedua belah pihak saling menyalahkan.
Putin mengatakan para negosiator Ukraina menyetujui draf perjanjian tentang netralitas Kiev – salah satu tuntutan utama Moskow – tetapi kemudian mengingkari kata-kata mereka, “membuang” perjanjian tersebut.
Sejak itu, Ukraina bersikeras bahwa negosiasi hanya dapat dilanjutkan setelah Moskow menyerahkan Crimea dan empat wilayah Ukraina bekas lainnya, yang bergabung dengan Rusia setelah mengadakan referendum pada tahun 2014 dan September 2022.
Moskow telah berulang kali menolak kondisi ini sebagai tidak dapat diterima.(res)