(IslamToday ID)—Memburuknya kondisi kehidupan di Jalur Gaza memicu migrasi massal generasi muda Palestina ke Eropa demi masa depan yang lebih baik.
Sebagai rumah bagi hampir 2,3 juta warga Palestina, Gaza telah terguncang di bawah blokade Israel yang melumpuhkan sejak tahun 2007, sehingga berdampak buruk pada penghidupan di wilayah tepi pantai tersebut.
“Putra saya, Mohamed, yang berusia 24 tahun, berimigrasi dari Gaza ke Yunani seminggu yang lalu,” ungkap Fares Alyan, 47, seorang penduduk kota Beit Lahia, sebelah utara Kota Gaza, kepada Anadolu.
“Anak saya kehilangan harapan akan perbaikan kondisi kehidupan atau masa depan yang lebih baik di Gaza,” tambahnya, seperti dilansir dari AA, Sabtu (7/10/2023).
Untuk diketahui, Mohamed bekerja di sektor pertanian selama lebih dari 10 tahun.
“Upah hariannya sekitar 20 shekel ($5,5), yang tidak pernah memenuhi kebutuhan sehari-harinya,” ungkap Alyan.
“Anak saya memutuskan untuk meninggalkan Gaza secara permanen untuk mencari pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik,” ungkap ayah Palestina tersebut.
Alyan mengatakan putranya membayar lebih dari $4.000 kepada penyelundup untuk membantunya bermigrasi dari Gaza menuju pantai Yunani.
“Dia berlayar dengan perahu karet di tengah risiko tinggi, namun dia dengan selamat mencapai pantai Yunani,” tambahnya.
Alyan juga menyebutkan bahwa keponakan, istri, dua anak, dan saudara perempuannya juga memutuskan untuk meninggalkan Gaza karena kondisi kehidupan yang sulit di daerah kantong tersebut.
Menurut Alyan, sekitar 50 pemuda Palestina dari lingkungan mereka telah bermigrasi dari Gaza pada bulan September.
Tidak ada perkiraan resmi mengenai jumlah warga Palestina yang bermigrasi dari Gaza. Namun pihak berwenang setempat mengatakan bahwa jumlah migran berada pada tingkat tahunan yang biasa.
Kemiskinan
Pakar ekonomi Mohamed Abu Jiab mengatakan eksodus massal dari Gaza telah berubah menjadi sebuah “fenomena”.
“Permintaan visa melalui agen perjalanan sedang meningkat,” ungkap Abu Jiab kepada Anadolu.
“Seluruh keluarga dan pemuda telah bermigrasi dari wilayah tersebut,” tambahnya.
Aktivis Palestina di Gaza berbagi di akun media sosial mereka tentang perjanjian yang tampaknya mengikat secara hukum mengenai pinjaman yang harus dibayarkan setelah migran mencapai Eropa dan mulai bekerja.
Abu Jiab menyebutkan kemiskinan, pengangguran dan kerawanan pangan sebagai alasan utama eksodus massal dari Gaza.
“Migrasi massal akan menyebabkan Gaza kehilangan kompetensinya di berbagai tingkat,” dia memperingatkan, seraya menyerukan rencana pemerintah “untuk mengurangi jumlah orang yang meninggalkan jalur tersebut.”
Menurut Monitor Hak Asasi Manusia Euro-Mediterania, 61,6% penduduk Gaza hidup dalam kemiskinan.
Tingkat pengangguran di Gaza mencapai sekitar 47% pada akhir tahun 2022, menurut angka resmi Palestina.
Penolakan Pejabat
Pihak berwenang setempat membantah eksodus massal dari Gaza dan mengatakan bahwa laporan tentang migrasi bertujuan untuk “menyesatkan” masyarakat.
“Jumlah warga Palestina yang meninggalkan dan kembali ke Gaza berada pada tingkat tahunan yang biasa,” ungkap Otoritas Umum untuk Penyeberangan dan Perbatasan Kementerian Dalam Negeri yang dikelola Hamas dalam sebuah pernyataan.
Menurut data perjalanan melalui perbatasan Rafah, 113.234 warga Palestina meninggalkan Gaza sejak awal tahun ini, sementara 116.651 orang kembali ke Jalur Gaza.
Pihak berwenang menyalahkan kehadiran hanya satu kantor visa yang menyebabkan padatnya warga Palestina yang ingin mendapatkan visa untuk melakukan perjalanan ke Türkiye.
“Sebagian besar orang yang ingin melakukan perjalanan ke Türkiye adalah karena alasan kemanusiaan, baik untuk pengobatan, beasiswa, pekerjaan, atau mengunjungi kerabat,” ungkap pernyataan itu.
Pihak berwenang memperingatkan agar tidak menyebarkan “angka yang salah” tentang jumlah migran dari Gaza.(res)