(IslamToday ID) – Melihat kekejaman dari penjajah Israel membuat satu per satu negara Amerika Latin menjauhkan diri mereka secara diplomatik dari hubungan dengan Israel.
Yang terkini, pemerintah Honduras memanggil pulang duta besarnya untuk Israel guna melakukan konsultasi terkait situasi kemanusiaan yang menimpa warga Palestina di Jalur Gaza.
Hal itu diumumkan oleh diplomat tertinggi negara tersebut melalui media sosial pada hari Jumat (3/11/2023). “Di tengah situasi kemanusiaan yang parah yang diderita penduduk sipil Palestina di Jalur Gaza, pemerintah Presiden Xiomara Castro telah memutuskan untuk segera memanggil Tuan Roberto Martinez, Duta Besar Republik Honduras untuk Israel, untuk berkonsultasi di Tegucigalpa,” kata Menteri Luar Negeri Enrique Reina melalui akun Twitter-nya.
Honduras adalah pemerintah Amerika Latin terbaru yang dipimpin oleh kelompok kiri yang mengambil langkah diplomatik untuk menyatakan ketidaksetujuannya terhadap serangan Israel yang diperluas.
Setelah perlawanan pejuang Hamas melalui Operasi Badai al-Aqsa dimulai bulan lalu, Israel melakukan pembalasan secara brutal.
Kementerian Kesehatan Palestina melansir, agresi Israel yang menghancurkan terhadap rakyat Palestina di Gaza dan Tepi Barat, telah membuat korban meninggal melonjak menjadi sedikitnya 9.572 orang, dan lebih dari 26.000 orang terluka. Israel juga terus melakukan pemboman terhadap rumah sakit, konvoi ambulans, sekolah, dan rumah ibadah.
Beberapa negara Amerika Latin telah mengambil sikap tegas dalam mendukung Palestina. Kolombia, Cile, dan Bolivia muncul sebagai negara yang paling vokal mengkritik Israel di benua Amerika Selatan.
Salah satu negara dengan perekonomian terbesar di Amerika Latin, Kolombia, adalah salah satu negara pertama yang mengecam serangan Israel di Gaza. Negara itu pun baru-baru ini memanggil duta besarnya untuk berkonsultasi. Bogota mengancam akan menangguhkan hubungan diplomatik dengan Tel Aviv.
Untuk membantu warga Palestina di daerah kantong yang terkepung yang kekurangan listrik, air, dan kebutuhan penting lainnya akibat blokade Israel yang sedang berlangsung, Kolombia juga mengirimkan sebuah pesawat yang membawa bantuan kemanusiaan.
Presiden Gustavo Petro telah menyebut serangan Israel terhadap Gaza sebagai genosida dan secara terbuka menyuarakan kritik terhadap Israel.
Mengomentari hubungan Israel-Kolombia, analis senior International Crisis Group Elizabeth Dickinson dikutip Anadolu Agency mengatakan, sebelum meningkatnya konflik di Gaza awal bulan lalu, hubungan antara kedua negara masih bersahabat. “Ada hubungan diplomatik yang kuat secara historis antara Kolombia dan Israel. Dan Israel memiliki kedutaan yang sangat aktif di sini,” kata Dickinson yang berbasis di Bogota.
Tapi hubungan keduanya memburuk ketika Kolombia menyatakan solidaritasnya dengan warga Palestina selama konflik yang sedang berlangsung. Bolivia juga bersikap kritis terhadap Israel, dan menjadi negara pertama yang memutuskan hubungan diplomatik.
Menteri Luar Negeri Sementara Bolivia Maria Nela Prada menuduh Israel melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dia menuntut diakhirinya serangannya di Jalur Gaza.
Sikap tegas itu bukan pertama kalinya negara Amerika Latin itu menghentikan hubungan dengan Israel. Hal ini telah dilakukan pada 2009 di bawah pemerintahan mantan Presiden sayap kiri Evo Morales dalam sebuah tindakan yang juga dipicu oleh tindakan Israel di Gaza.
Pemerintahan Presiden sayap kanan Jeanine Anez menjalin kembali hubungan dengan Israel 10 tahun kemudian. Pakar hubungan internasional Mariano de Alba menegaskan, bahwa tidak seperti Kolombia, hubungan Israel dengan Bolivia mengalami masa-masa sulit selama bertahun-tahun.
Negara Amerika Selatan lainnya, Cile juga telah menarik duta besarnya dari Israel. De Alba menganalisis tindakan Kolombia dan Cile, dia menilai, pemerintah kedua negara sangat khawatir dengan penggunaan kekuatan yang tidak proporsional oleh militer Israel.
Negara lain yang mengutuk Israel adalah Venezuela. Pemerintahan negara itu menyebut serangan Israel baru-baru ini terhadap Rumah Sakit al-Shifa di Jalur Gaza sebagai pembantaian.
De Alba mengatakan, hubungan antara Venezuela dan Israel hampir tidak ada selama bertahun-tahun sejak Hugo Chavez berkuasa, terutama akibat permusuhan terhadap Amerika Serikat (AS), sekutu setia Israel. Sementara itu, pemerintahan Chavez menjalin aliansi dengan beberapa negara Arab, termasuk Otoritas Palestina.
Dalam sebuah analisis yang diterbitkan oleh Elcano Royal Institute di Spanyol, para ahli menemukan, selama krisis saat ini, negara-negara yang mendukung Palestina cenderung memiliki pemimpin sayap kiri. Sementara pemerintahan yang dipimpin sayap kanan menyuarakan solidaritas terhadap Israel.
Mengenai peran para pemimpin sayap kiri, Dickinson mengatakan, di Amerika Latin memiliki generasi baru pemimpin sayap kiri yang tidak hanya berhaluan kiri tetapi juga cukup kuat dalam isu-isu hak asasi manusia ke panggung global. “Ada kesamaan pemikiran bahwa, secara global, diplomasi adalah jalan ke depan,” ujarnya.
Kolombia adalah negara yang telah mengalami konflik kekerasan selama beberapa dekade. Pemerintah saat ini telah mempertahankan kebijakan untuk mengurangi pertempuran dengan kelompok bersenjata internal dan sebagai gantinya mengupayakan dialog.
Dickinson juga berpendapat, bahwa Cile, Bolivia, dan Kolombia mungkin saling berkoordinasi dalam sikap mereka terhadap Israel untuk menyampaikan pesan yang kuat. “Mereka memiliki pemikiran yang sama dalam hal kebijakan luar negeri, sehingga tampaknya keputusan mereka terkoordinasi,” katanya.
Menurut Dickinson, negara-negara itu juga telah berkoordinasi dalam kebijakan lain. Mereka memutuskan menjadi blok advokasi dengan pemimpin progresif. Contoh saja pemerintahan sayap kiri yang saat ini memerintah Bolivia selalu sangat berhati-hati dan tidak memiliki hubungan dekat dengan Israel. [sya]