(IslamToday ID)—Parlemen Aljazair telah memberi wewenang kepada presiden negara tersebut untuk menyatakan perang terhadap penjajah Israel atas serangannya terhadap Gaza.
Profesor Sejarah Gerald Horne dari Universitas Houston, Texas, mengatakan penjajah Israel belum mengambil pelajaran dari penghinaan yang mereka alami pada 7 Oktober.
“Meluasnya konflik Israel-Palestina hingga mencakup Afrika Utara sudah dapat diprediksi dan Israel harus mengupayakan perdamaian,” ungkap seorang sejarawan, seperti dilansir dari Sputniknews, Rabu (8/11/2023).
Pekan lalu Parlemen Aljazair memberikan suara bulat untuk memberikan kekuasaan kepada Presiden Abdelmadjid Tebboune untuk menyatakan perang terhadap penjajah Israel sebagai tanggapan atas pemboman dan invasi mereka ke Jalur Gaza yang terkepung.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan negaranya sedang “berperang” setelah sayap bersenjata Hamas dan gerakan lainnya melancarkan serangan roket dan serangan darat ke Israel selatan pada tanggal 7 Oktober yang menyebabkan hampir 300 tentara Israel dan 1.100 warga sipil tewas, dengan ratusan lainnya ditawan.
Namun Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah memakan banyak korban bahkan sebelum memasuki Kota Gaza.
AS telah mendukung penjajah Israel dengan mengirim kapal induk dan kelompok penyerang amfibi Korps Marinir ke Timur Tengah untuk mengancam negara-negara lain di kawasan tersebut agar tidak ikut serta dalam konflik di pihak Palestina.
Sejarawan Gerald Horne mengatakan kepada Sputnik bahwa eskalasi seperti itu bukanlah pertanda baik bagi “negara kolonial pemukim, mengingat negara tempat kita tinggal sekarang, Amerika Utara, dan Palestina yang bersejarah.”
“Pada dasarnya, imperialisme AS menghadapi kontradiksi karena mereka terikat dengan tali pusar, bahkan terikat erat dengan Israel,” tambahnya.
Dia mengatakan Israel harus memperhatikan tulisan di dinding dan menyetujui gencatan senjata dengan Hamas.
“Israel belum mengambil pelajaran apa pun dari peristiwa 7 Oktober. Faktanya, Israel telah memutuskan untuk lebih menerapkan kebijakan kekerasan yang berdarah-darah,” ungkap Horne.
“Kebijakan itulah yang menyebabkan 240 sandera dan 1.400 warga Israel meninggal. Seharusnya pada tanggal 8 Oktober, 9 Oktober, ada gerakan cepat menuju penyelesaian krisis dan tentu saja tidak mengasingkan negara-negara secara luas.”
Ancaman Aljazair, yang baru-baru ini dimasukkan ke dalam kelompok negara-negara berkembang utama BRICS, juga ikut terlibat bukanlah hal yang mengejutkan mengingat perkembangan terkini, kata sejarawan tersebut.
“Manuver yang dilakukan Aljazair baru-baru ini perlu ditanggapi dengan serius karena kita semua tahu bahwa selama beberapa dekade, Aljazair bersedia memberikan jempol pada perusahaan tersebut,” ujar Horne.
“Kita semua tahu Aljazair, saat ini, mendukung Niger, yang berada di bawah tekanan besar dari Perancis neo-kolonial karena penggulingan favorit Perancis di Niamey.”
Akademisi tersebut mengatakan Aljazair mempunyai “kartu truf” dalam bentuk cadangan gas alam yang sangat besar yang dibutuhkan negara-negara Eropa Barat untuk menggantikan pasokan Rusia yang terputus akibat sanksi dan pemboman jaringan pipa Nord Stream.
“Mereka mengira bisa membuat kesepakatan dengan Aljazair. Hal itu belum tentu berjalan baik,” ungkapHorne.
“Dan di atas semua itu, fakta bahwa Aljazair dalam beberapa hal meniru Yaman. Ingatlah bahwa belum lama ini, hanya beberapa hari yang lalu, pasukan di Yaman diduga menembakkan rudal ke arah Israel, yang konon adalah Paman Pasukan Sam mencegatnya.”(res)