(IslamToday ID) – Kuartal pertama 2024 pasukan Junta tercatat telah menangkap dan membunuh hampir 90 warga sipil di wilayah Sagaing, Myanmar utara, menurut data yang dikumpulkan oleh RFA Burma.
Mengutip RFA, Kamis (25/4/2024), insiden tersebut juga dialami oleh beberapa penduduk desa yang sudah lanjut usia dan lainnya yang tidak dapat melarikan diri dari serangan militer.
Jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah mengingat sebagai benteng pemberontakan, wilayah Sagaing telah memberikan perlawanan paling keras terhadap pemerintahan junta sejak kudeta militer pada Februari 2021. Juga telah mengalami beberapa kekejaman paling brutal yang dilakukan oleh militer selama tiga tahun perang saudara yang terjadi di negara itu.
Para pengamat mengatakan kepada RFA bahwa militer berusaha menciptakan kebencian publik terhadap pasukan pemberontak di Sagaing lantaran pasukan Junta banyak mengalami kerugian dalam beberapa bulan terakhir.
Baru-baru ini, data yang dikumpulkan oleh RFA menunjukkan bahwa pasukan junta menangkap dan membunuh sedikitnya 86 warga sipil di sembilan kota di Sagaing dalam 101 hari antara 1 Januari dan 10 April, atau hampir satu orang setiap hari.
Kota-kota Kawlin, Shwebo dan Taze mengalami jumlah korban tertinggi selama periode tersebut, menurut data, yang tidak termasuk warga sipil yang terbunuh akibat pertempuran, serangan udara dan artileri berat.
Dalam salah satu insiden terbaru, pasukan gabungan pasukan junta dan milisi pro-junta Pyu Saw Htee menyerbu desa Shar Taw di Shwebo pada malam hari tanggal 6 April, menangkap dan mengeksekusi sembilan warga sipil, kata penduduk kepada RFA.
Menurut daftar yang disusun oleh RFA tentang warga sipil yang ditangkap dan dibunuh pada kuartal pertama tahun 2024, 22 orang tewas di Kawlin, 19 di Shwebo, 14 di Taze, 10 di Monywa, tujuh di Khin-U, enam di Kanbalu, lima di Tabayin, dua di Ye-U, dan satu di Kani. Tiga dari korban adalah perempuan dan sisanya laki-laki.
Menurut daftar yang disusun oleh RFA tentang warga sipil yang ditangkap dan dibunuh pada kuartal pertama tahun 2024, 22 orang tewas di Kawlin, 19 di Shwebo, 14 di Taze, 10 di Monywa, tujuh di Khin-U, enam di Kanbalu, lima di Tabayin, dua di Ye-U, dan satu di Kani. Tiga dari korban adalah perempuan dan sisanya adalah laki-laki.
Seorang anggota Pasukan Pertahanan Rakyat anti junta, atau PDF, di Shwebo mengatakan kepada RFA bahwa junta dengan sengaja membunuh warga sipil untuk membangkitkan kebencian publik terhadap pemberontakan.
Sementara, Kyaw Win direktur eksekutif Burma Human Rights Network meyakini bahwa militer juga menggunakan rasa takut sebagai senjata untuk melawan serangan pemberontak yang semakin meningkat terhadap pasukannya, terutama di wilayah Sagaing dan Magway.
“Sagaing dan Magway berada di garis depan perlawanan terhadap tentara junta,” katanya, seraya menambahkan bahwa “tenaga militer semakin berkurang” setelah mengalami “kerugian yang signifikan” di dua wilayah tersebut. “Sementara kemunduran telah terjadi di tempat lain, wilayah-wilayah ini tampaknya berada di bawah penargetan yang intensif. Kebrutalan ini berfungsi untuk menanamkan rasa takut dan menghalangi orang untuk menantang otoritas mereka,” ujarnya. [ran]