(IslamToday ID) – Kepolisian Indonesia pada Selasa (2/4/2024) menangkap tiga awak kapal dan satu orang lainnya yang bukan bagian dari awak kapal yang diduga bertanggung jawab atas insiden terbaliknya kapal di perairan Indonesia yang menewaskan rombongan Rohingnya.
Dikutip dari TRTWorld, Rabu (8/5/2024), keempatnya didakwa melakukan penyelundupan manusia dengan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun. Sisanya hingga kini masih buron.
“Kami masih mencari kru kapal yang tersisa termasuk kapten kapal yang melarikan diri ke malaysia,” kata Kapolres Aceh Barat Andi Kirana.
Lebih lanjut, Andi mengatakan polisi tidak mempertimbangkan tuduhan pembunuhan karena kejadian kapal terbalik merupakan kecelakaan.
Di sisi lain, seorang penumpang yang diidentifikasi dengan inisial N mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan kapten kapal beserta kru merupakan aksi balas dendam yang disengaja.
“Mereka menyiksa kami. Mereka memperlakukan kami seperti binatang. Kami ingin pemerintah memperlakukan mereka seperti binatang,” ungkapnya.
N lantas menceritakan awal mula kapal yang ditumpangi beserta rombongannya terbalik di laut lepas Aceh.
N merupakan anak perempuan berusia 12. Bersama sekitar 140 pengungsi etnis Rohingya lainnya terjebak di kapal nelayan di lepas pantai Indonesia. Mereka telah meninggalkan Bangladesh dan tanah air mereka di Myanmar dalam upaya menghindari kekerasan dan teror, tapi ternyata harus menghadapi hal yang sama di laut.
Seperti sebagian besar penumpang, dia selamat dari serangan militer Myanmar yang memaksa dia dan keluarganya mengungsi ke negara tetangga Bangladesh.
Di sana, dia bertahan selama hampir tujuh tahun di kamp pengungsi yang dilanda kekerasan. Dan sejauh ini dia berhasil bertahan dalam perjalanan ini tanpa keluarganya, yang berharap dia bisa sampai ke Malaysia, di mana dia dijanjikan sebagai pengantin anak-anak dari seorang pria yang belum pernah dia temui.
N sendiri merupakan penyintas kekerasan seksual. Perjalanan berjalan normal hingga pada akhirnya para pengungsi dipindahkan ke kapal Indonesia yang lebih kecil yang akan menyelundupkan mereka hingga ke Malaysia.
Kehebohan terjadi saat malam kejadian yang merupakan malam ketiga mereka berada di lautan, dia dan tiga perempuan serta anak perempuan lainnya mengalami penyiksaan oleh kru dan kapten kapal.
Mereka akan mendapatkan hukuman apabila tidak patuh. Yang paling parah hukuman tersebut akan berujung pada kematian.
Malam itu dia telah selamat dari satu malam di kamar tidur kapten dan mencoba bersembunyi. Dia mengaku semua pengungsi perempuan telah dipukuli bahkan kapten dan beberapa anggota kru juga melakukan pelecehan seksual terhadapnya dan yang lainnya.
Sebelumnya, kapten memerintahkan lebih banyak gadis untuk bergabung dengannya dan krunya di kamar tidur.
“Jika kamu tidak datang kepada kami. Maka kami akan membalikkan perahu ini!” kata N menirukan sang kapten.
Kapten dan kru yang memperingatkan bahwa mereka bersenjata, meskipun tidak ada yang melihat senjata, memaksa N dan empat wanita dan gadis lainnya masuk ke kamar tidur kapten.
Salah satu wanita menyelinap keluar, namun N dan yang lainnya terjebak. Serangan yang dilakukan oleh kapten dan lima dari enam awaknya berlangsung sepanjang malam, kata N.
Saat fajar menyingsing, N mengaku diperbolehkan keluar untuk menggunakan toilet. Diapun bersembunyi di antara wanita lain, namun tiga gadis lainnya yang dianiaya pada malam kedua masih di dalam.
“Pada malam ketiga, ketiga gadis itu keluar dari kamar kapten, terisak-isak dan tidak bisa berkata-kata. Kapten dan kru meminta korban baru namun ara wanita menolak,” kisahnya.
Dia mengatakan kapten dan awak kapal telah meminum alkohol dan menghisap ganja. Kapten yang marah itu mengancam akan membalikkan kapalnya jika para wanita tersebut tidak menurutinya.
Tidak hanya melakukan kekerasan dan pelecehan seksual, kapten dan kru kapal bahkan tega memaksa N dan warga Rohingya lainnya untuk bertempur lagi demi bertahan hidup.
“Bagi banyak orang, ini adalah pertarungan yang akhirnya membuat mereka kalah,” kata N.
N sendiri berjuang untuk mencapai lambung kapal yang terbalik saat kapal terbalik. Sekali lagi, dia berhasil bertahan hidup. Namun ketiga gadis yang dianiaya di sisinya tidak mengalami hal tersebut.
Pengakuan N diperkuat dengan pernyataan pengungngsi lainnya, Muhammad Amin.
“Kapten dan awak kapal Indonesia memisahkan laki-laki dari perempuan dan memaksa laki-laki masuk ke ruang kargo kapal. Siapa pun yang memprotes akan dipukuli,” ungkapnya.
Amin mengaku melihat kapten dan tiga awaknya berenang menjauh saat kapal terbalik.
Pengungsi lain, Jannat Ullah juga mengaku melihat kapten mendorong kemudi dengan kakinya.
“Kapal itu miring dengan keras, membuat penumpangnya terjatuh. Dan kemudian ia menabrak gelombang. Di tengah kegelapan air, orang-orang berteriak minta keselamatan, minta Tuhan, dan minta anak-anak mereka agar diberi keselamatan,” ujarnya.
Masih dari sumber yang sama, pagi harinya, sebuah perahu nelayan kecil tiba dan membawa enam orang ke pantai.
Sementara itu, gelombang yang semakin parah telah mengganggu kestabilan perahu yang terbalik, sehingga kembali terbalik dan menewaskan lebih banyak orang.
Hujan menyelamatkan penumpang dari kematian karena dehidrasi.
Rehana Begum, pengungsi perempuan lain mengisahkan, usai terapung di laut sekitar 30 menit kemudian, kata Rahena, kapal penyelamat akhirnya tiba.
UNHCR mengungkapkan menemukan jenazah 12 perempuan dan tiga anak telah ditemukan di lepas pantai Aceh.
Petugas baru selesai menyelamatkan penumpang hingga tengah hari pada tanggal 21 Maret. Setelah sebelumnya pada 20 Maret kapal nelayan menyelamatkan enam orang pengungsi.
Sebagai informasi, pada bulan Maret, pejabat Indonesia dan nelayan setempat menyelamatkan 75 orang dari lambung kapal yang terbalik di lepas pantai provinsi Aceh, Indonesia.
Sementara 67 penumpang lainnya, termasuk sedikitnya 28 anak-anak, tewas ketika kapal terbalik.