KONAWE, (IslamToday ID) – Keberadaan desa fiktif atau desa siluman di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara langsung ditepis oleh Wakil Bupati Konawe, Gusli Topan Sabara.
Tiga desa siluman yang disebut rutin mendapatkan
kucuran dana desa itu adalah Desa Ulu Meraka di Kecamatan Lambuya, serta Desa
Uepai dan Desa Morehe di Kecamatan Uepai.
Gusli mengakui jika tiga desa itu pernah ada dan anggarannya
terus cair mulai 2015 hingga 2018. Namun, berdasarkan hasil pemeriksaan
Inspektorat Provinsi Sulawesi Tenggara, ketiga desa itu harus dihentikan
pencairan dana desanya.
Alasannya, Desa Ulu Meraka tak
diberikan dana desa karena namanya sama dengan desa di Kecamatan Onembute.
Sementara, Desa Morehe tidak diberikan dana desa karena wilayahnya masuk
Kabupaten Kolaka Timur. “Dengan mekarnya Kolaka Timur, ada daerah kita
yang diambil. Ini akan kami sanggah di Kementerian,” katanya, Kamis (7/11/2019).
Kemudian, Desa Uepai masuk sebagai penerima dana desa diduga
akibat kesalahan manusia atau human error. Sebab,
desa ini sudah lama tidak ada sejak berubah nama menjadi Kelurahan Uepai.
Atas rekomendasi Inspektorat tersebut, dana ketiga desa itu
dihentikan dan uangnya dibiarkan mengendap di kas daerah Pemkab Konawe sebesar
Rp 5,8 miliar. “Berdasarkan rekomendasi itu, tidak dicairkan sejak
2015-2018,” kata Gusli.
Ia pun mengakui uang tersebut tidak
dialihkan ke anggaran lain dan dibiarkan menjadi sisa lebih penggunaan anggaran
(Silpa) Pemkab Konawe. “Sebenarnya kita dirugikan karena seperti Desa
Morehe ini kenapa masuk di Kolaka Timur. Itu nanti kita sanggah di kementerian,”
tuturnya.
Sambo (51), pegawai Kecamatan Lambuya, Kabupaten Konawe mengaku baru
mendengar Desa Ulu Meraka masuk wilayah Kecamatan Lambuya. Di kecamatan
ini, ada sembilan desa dan satu kelurahan. Tak ada nama Desa Ulu Meraka.
“Sepengetahuan saya Ulu Meraka itu adanya di Kecamatan Onembute. Bukan di sini.
Saya lahir di Desa Meraka,” katanya.
Warga Desa Tanggondipo, Didin heran desanya disebut
bermasalah. Ia mengatakan desa ini berdiri sejak 2007 silam melalui SK
Bupati Konawe, Lukman Abunawas, pecahan dari Kelurahan Uepai. “Tadi pagi
warga banyak bercerita setelah lihat berita itu. Ramai di sini soal desa fiktif
itu,” katanya.
Kepala Desa Tanggondipo, Bundusila
(57) menyebut Desa Uepai masuk wilayah Kecamatan Lambuya sebagai kecamatan
induk. Setelah pemekaran, Lambuya terpecah menjadi beberapa kecamatan di
antaranya Kecamatan Uepai.
Di saat itu, Desa Uepai berubah menjadi Kelurahan Uepai. Tak
lama kemudian, Kelurahan Uepai memekarkan Lingkungan III Tanggondipo menjadi
sebuah desa. Berdasarkan data terakhir, desa ini berpenduduk 129 kepala
keluarga dengan luas 270 hektare.
Bundusila memimpin Desa Tanggondipo sejak 2010 silam. Sejak
memimpin, ia pernah mendapatkan dana dari Pemprov Sultra lewat Program
Bahteramas Rp 50 juta per tahun hingga 2015. “Pencairannya juga
bertahap. Sama seperti dana desa ini,” ujarnya.
Pada tahun yang sama, muncul kebijakan Presiden Jokowi tentang
dana desa. Di awal pemberlakuan undang-undang itu, ia mendapatkan dana Rp 250
juta. “Tahun ini, pagu anggaran Rp 720 juta kami dapat,” jelasnya.
Terkait kasus desa fiktif, ia juga telah diperiksa Polda
Sultra tiga kali di Polres Konawe. Pemeriksaan terkait keabsahan desa yang
diampunya hingga progres pekerjaan yang menggunakan dana desa. “Mereka
(polisi) juga pernah turun lapangan melakukan pengukuran volume pekerjaan,”
ujarnya.
Presiden Jokowi telah memberikan tanggapan terkait desa fiktif tersebut. Ia memerintahkan untuk segera menangkap oknum yang sengaja menciptakan desa fiktif untuk mendapatkan kucuran dana desa. (wip)
Sumber: CNNIndonesia.com