JAKARTA, (IslamToday ID) – Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana mengungkapkan apapun pilihan cara pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yang terpenting adalah jangan sampai merusak demokrasi. Semua pilihan menurutnya baik asalkan tidak diwarnai dengan politik uang.
“Tentu yang harus kita antisipasi apapun pilihannya, jangan sampai merusak demokrasi. Pilkada yang merusak demokrasi itu kan yang marak dengan money politic,” ungkap Denny di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2019).
Menurutnya, hal itulah yang perlu ditekankan ke depan. Potensi politik uang selalu ada, baik Pilkada dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Pembentuk undang-undang (UU) harus mencari jalan keluar agar persoalan tersebut dapat teratasi atau diminimalkan.
“Bagaimanakah kita meminimalkan dan ke mana arahnya, ya kita serahkan ke pembuat UU. Karena keduanya kan sebenarnya baik langsung dan tidak langsung itu konstitusional,” jelasnya.
Ia melihat ada harapan besar ke depan akan berlanjutnya Pilkada langsung. Tapi, perlu ada perbaikan dalam prosesnya, terutama dari sisi pembiayaan agar tidak memakan dana besar dan terkait praktik politik yang koruptif.
“Tetapi dengan perbaikan-perbaikan, utamanya dari sisi tidak terlalu mahal, kemungkinan praktik politik yang koruptif itu harus disikapi dengan perbaikan serius dan mendasar,” jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengaku menjadi salah satu pihak yang meminta agar pilkada secara langsung dievaluasi. Namun, ia menegaskan bahwa evaluasi bukan berarti kepala daerah dipilih oleh DPRD.
“Ini (evaluasi pilkada) saya sendiri pernah menyampaikan, tapi tidak pernah menyampaikan untuk kembali kepada DPRD, ini saya klarifikasi,” ujar Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019).
Ia menjelaskan, Pilkada langsung memang meningkatkan partisipasi masyarakat untuk memilih kepala daerah. Namun dalam proses penyelenggaraannya terdapat sejumlah dampak negatif.
Menurutnya, Pilkada langsung berpengaruh kepada biaya tinggi dan rentan terjadinya korupsi. Selain itu, Pilkada langsung juga dapat menghasilkan ketegangan politik di sejumlah wilayah.
Salah satunya yang terjadi pada Pilkada Papua. Di mana berdasarkan pengalamannya, konflik yang terjadi antar suku menyebabkan pemilihan kepala daerah sempat tertunda cukup lama.
“Praktiknya setelah lebih dari sekian belas tahun, kita juga melihat ada dampak negatifnya. Ada potensi konfliknya, itu jelas. Saya sendiri sebagai mantan Kapolri, mantan Kapolda,” ujar Tito.
Tito juga menyinggung soal Pilkada langsung yang menyebabkan calon kepala daerah mengeluarkan biaya politik yang tinggi. Oleh karena itu, evaluasi diharapkan melewati proses kajian yang mendalam, agar pelaksanaannya nanti tak menimbulkan polemik.
“Sehingga usulan yang saya sampaikan adalah bukan untuk kembali ke A atau ke B, tetapi adakan evaluasi. Tapi evaluasi bukan suatu yang haram menurut pendapat saya,” ujarnya. (wip)
Sumber: Republika.co.id