JAKARTA,
(IslamToday ID) – Kholifah duduk di lobi Gedung Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta Pusat, bersama rombongan guru Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD). Perempuan berusia 65 itu baru saja mengikuti kegiatan di
Direktorat Jenderal PAUD Kemendikbud.
Ia bercerita tentang suka duka menjadi guru PAUD di TK Kemala Bhayangkari,
Jatinegara, Jakarta Timur. “Keluhannya, suka banyak tugas. Harus buat laporan
misalnya buat puskesmas, laporan kegiatan anak. Sedangkan kami persiapan buat
besok juga repot. Sambil monitor anak-anak,” ujar Kholifah, Rabu (27/11/2019).
Meski mengeluhkan banyak tugas yang membebani guru PAUD, ia
tetap senang menjalani profesinya. Di kelas, Kholifah biasanya
mengajar 10-15 anak didik. Usianya pun beragam, dari empat hingga enam tahun.
“Saya senang sama anak-anak, karena anak-anak itu unik. Mereka enggak punya
dendam. Kalau dimarahin, hari itu juga
sudah lupa lagi, langsung meluk Bu
Guru,” ujar Kholifah.
Hari itu, Kholifah bersama guru PAUD lainnya mempelajari alat-alat peraga untuk
membantu proses belajar di kelas. Mereka juga mempelajari kekurangan guru-guru
di daerah.
Narim (56), penilik guru PAUD di Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat mengaku kebingungan jika harus mengevaluasi kinerja guru-guru yang dibimbingnya. “Sebagai pembina kami cuma mikir masih untung ada yang mau mengajar di pedesaan. Kita enggak bisa maksa, ini tidak boleh, itu tidak boleh. Nanti siapa yang mau mengajar di sini,” ujarnya.
Narim
bercerita, kebanyakan murid di Setu memiliki latar belakang ekonomi menengah ke
bawah. Biaya yang harus dikeluarkan untuk bisa mengikuti pendidikan usia dini
umumnya berkisar antara Rp 50.000 per bulan, bahkan kurang.
“Anak murid (di satu kelas) bisa cuma 10 sampai 15 orang.
Satu anak bayaran sekolah Rp 50.000 per bulan. Kadang ada yang di bawah itu.
Semampunya orang tua lah,” kata Narim.
Jika
dihitung-hitung dengan biaya itu, upah guru bahkan bisa kurang dari Rp 200.000.
Mengingat biaya sarana dan prasarana juga harus diperhitungkan selama proses
belajar. Apabila biaya sekolah dinaikkan, Narim khawatir orang tua lebih
memilih menyekolahkan anaknya langsung ke sekolah dasar, tak usah lagi belajar
di PAUD.
“Sebab yang namanya melanjutkan sekolah ke SD itu tidak
dituntut PAUD. Akhirnya orang-orang langsung SD saja. Padahal (PAUD) sangat
penting. Kalau anak langsung ke SD suka takut atau minder dengan
teman-temannya. Kalau sudah di PAUD mereka sudah belajar mandiri,” jelasnya.
Tak jarang profesi guru PAUD diisi mereka yang tidak memiliki
gelar atau latar pendidikan yang memadai. Narim mengatakan mereka yang hanya
lulusan SMA akhirnya diterima jadi guru hanya dengan syarat pelatihan mengajar
sebelum terjun ke lapangan.
“Mereka banyak yang tidak mau mengajar jadi guru PAUD,
orang-orang S1 dan S2. Karena apa? Karena di PAUD sendiri, apalagi di pedesaan
dananya kan enggak banyak,” tuturnya.
Selain
itu, kata Narim, perkara keterbatasan sarana dan prasarana juga jadi persoalan
yang banyak dikeluhkan guru. Sebab sarana dan prasarana yang memadai di sekolah
merupakan poin krusial dalam proses belajar dan mengajar.
“Anak itu kan bermain sambil belajar. Jadi mengenal barang.
Barang-barangnya beli atau buat sendiri. Kalau beli, dananya dari mana?” tambah
Narim.
Perbaiki Legislasi
Direktur Pembinaan dan Pendidikan Anak Usia Dini Kemendikbud,
Muhammad Hasbi mengakui memang ada perbedaan kesejahteraan antara guru PAUD
dengan guru satuan pendidikan lainnya. Sebab dalam UU No 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, definisi PAUD dibagi menjadi dua.
Yakni, PAUD formal termasuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA) dan Bustanul Athfal (BA). Ada pula PAUD nonformal, termasuk Kelompok Bermain (KB) dan Taman Penitipan Anak (TPA). “Hanya guru PAUD yang mengajar di satuan formal yang memiliki tunjangan sertifikasi profesi,” tutur Hasbi.
Mengenai sumber pendapatannya, kata Hasbi, guru PAUD bisa memperoleh upah dari empat sumber. Di antaranya melalui alokasi dana desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN), dan pungutan dari orang tua murid.
Untuk
alokasi dana dari APBN, guru PAUD dapat menerima sebesar Rp 200.000 per bulan
dengan prinsip bergilir. “Dari APBN, kita berikan sebanyak Rp 200.000
per bulan, tetapi tidak untuk seluruh guru PAUD. Kita menggunakan prinsip
bergilir, artinya guru PAUD yang sudah menerima akan menunggu untuk menerima
lagi setelah guru yang lain kebagian,” jelas Hasbi.
Menanggulangi kesenjangan ini, Kemendikbud berupaya mendorong
perbaikan legislasi terkait UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) yang mengatur persoalan ini.
“Kita mendorong agar UU ini memperhatikan pendidikan
nonformal juga. Dengan jalan seperti itu, semua bisa terwadahi. Guru yang
gajinya hanya Rp 200.000 per bulan bisa mendapat gaji sama dengan guru formal
yang lain,” tambahnya.
Terkait
kualifikasi pendidik PAUD, kata Hasbi, sudah diatur melalui Peraturan Mendikbud
No 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional PAUD.
Pendidik PAUD dapat terdiri dari tiga unsur, yakni guru
dengan gelar S1 PAUD atau psikologi, guru pembimbing dengan gelar S1 di luar
PAUD dan psikologi, serta pengasuh dengan gelar lulusan SMA. Ketiganya harus
memiliki sertifikasi kompetensi kepaudan.
“Persyaratannya memang setiap sekolah harus punya setidaknya
satu guru PAUD dengan kualifikasi S1 PAUD atau psikologi. Untuk TPA misalnya,
rasio minimal satu guru PAUD untuk 8 anak. Untuk kelompok bermain dan TK rasio
minimal satu guru PAUD untuk 15 anak,” pungasnya. (wip)
Sumber: CNNIndonesia.com