JAKARTA, (IslamToday ID) – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (12/12/2019).
Haedar diangkat sebagai guru besar berdasarkan SK Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia No 35528/M/KP/2019 tentang Kenaikan Jabatan Akademik Dosen tertanggal 16 Oktober 2019, dengan angka kredit sebesar 894,50.
Penyerahan SK dilakukan oleh Kepala L2Dikti Wilayah V, Yogyakarta kepada Rektor UMY, Gunawan Budiyanto. Untuk kemudian diserahkan kepada Haedar Nashir.
Dalam orasinya berjudul “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan Perspektif Sosiologi”, Haedar mengungkapkan dalam kurun terakhir, Indonesia seakan berada dalam darurat radikal dan radikalisme. “Radikalisme, khususnya terorisme menjadi isu dan agenda penanggulangan utama,” ujarnya di Gedung Sportorium UMY yang penuh sesak oleh tokoh-tokoh nasional.
Mantan Wakil Ketua PP IPM periode 1984-1986 itu menyatakan, narasi waspada terhadap kaum jihadis, khilafah, wahabi, dan lain-lain disertai berbagai kebijakan deradikasasi, meluas di ruang publik.
Isu tentang masjid, kampus, BUMN, majelis taklim, dan bahkan lembaga Pendidikan Usia Dini (PAUD) terpapar radikalisme, katanya, demikian kuat dan terbuka di ruang publik yang menimbulkan kontroversi nasional.
Haedar menilai kalau konsep radikal dikaitkan dengan apa yang oleh Taspinar (2015) disebut “violent movements” (gerakan kekerasan) seperti dalam berbagai kasus bom teror, penyerangan fisik, dan berbagai aksi atau tindakan kekerasan di Indonesia, maka bisa dipahami sebagai pandangan dan kenyataan yang objektif.
“Radikalisme agama, termasuk di sebagian kecil kelompok umat Islam pun tentu merupakan fakta sosial yang nyata,” sebutnya.
Haedar melanjutkan, pada posisi demikian, baik pemerintah maupun banyak komponen bangsa berkomitmen untuk bersama menolak segala bentuk paham dan tindakan radikal atau radikalisme yang bermuara pada kekerasan, makar, dan merusak kehidupan manusia dan lingkungannya yang Allah sendiri melarang tegas karena masuk tindakan merusak di muka bumi (fasad fil-ardl).
Radikalisme agama diakui memang terjadi dalam kehidupan, sebagaimana radikalisme lainnya di berbagai belahan bumi. “Stigma radikalisme Islam itu begitu kuat dan kadang bersentuhan dengan Islamophobia, yang akarnya kompleks,” ujar Haedar.
Haedar menilai konsep dan aspek tentang radikalisme baik dalam pemikiran maupun kenyataan tersebut, sejatinya bersifat universal alias berlaku umum, apakah di tingkat global atau internasional maupun domestik di Indonesia.
Insiden teror berdarah di Masjid Christchurch, Selandia Baru yang menewaskan 49 orang di dunia internasional, bukan dilakukan oleh orang Islam, bahkan sasarannya jamaah muslim di masjid.
Begitu pula, tambahnya, kejadian di Indonesia seperti pembakaran masjid di Tolikara, Papua; penyerangan kelompok bersenjata di Wamena yang menewaskan 33 korban jiwa dan ratusan luka-luka diiringi ribuan warga eksodus dari bumi Papua; pembunuhan 31 pekerja pembangunan jalan di Distrik Yigi-Nduga Papua; serta gerakan separatis yang mengancam keamanan rakyat dan NKRI.
“Semuanya menunjukkan fakta sosial tentang radikalisme, lebih khusus ekstremisme dan terorisme yang tidak sederhana dan bermuara pada satu golongan,” ujarnya menyimpulkan.
Haedar sejak muda memang dikenal sebagai aktivis yang tekun membaca dan menulis. “Beliau akademisi, sekaligus organisator yang moderat,” kesan dari Ketua PWM DKI Jakarta, KH Sun’an Miskan.
Rektor UMY, Gunawan Budiyanto mengatakan, Haedar menjadi guru besar ke-18 UMY. “Dengan bertambahnya guru besar di lingkungan UMY bisa memperkuat institusi Pascasarjana,” ujarnya.
Gunawan berharap pengangkatan Haedar sebagai guru besar UMY menjadi motivasi para akademisi persyarikatan di tengah kesibukan memimpin Muhammadiyah. (wip)
Sumber: Hidayatullah.com