JAKARTA, (IslamToday ID) – Pengamat ekonomi dan
politik dari Nusantara Centre, Yudhie Haryono menilai tak ada strategi baru di pemerintahan
periode kedua Presiden Jokowi dalam hal pembangunan ekonomi. Menurutnya, sejumlah strategi pemerintahan Jokowi yang kini bersama Wapres Ma’ruf Amin tak jauh beda saat bersama dengan Wapres Jusuf Kalla di 2014-2019 lalu.
“Misalnya saja terkait cara pemerintah dalam mendanai kebutuhan APBN dalam
lima tahun ke depan. Andalannya masih sama, yaitu dari penerimaan pajak,
penerimaan bukan pajak, dan dari utang,” kata Yudhie, Minggu (22/12/2019).
Dengan cara konvensional tersebut, target negara yang memiliki permasalahan kompleks akan sulit tercapai. “Setahu saya ini akan sulit, bahkan tidak akan pernah berhasil,” ungkapnya.
Pemerintahan
Indonesia ke depan harus mulai mempertimbangkan sumber-sumber pendanaan APBN
non konvensional yang
memiliki potensi besar dan belum pernah tersentuh.
Kekuatan pendanaan baru tersebut, dikatakan
Yudhie, bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan mendasar kebangsaan yang
selama ini masih belum mampu terpenuhi pendanaannya, seperti sektor pendidikan,
budaya, hingga pengembangan
infrastruktur di sektor tambang.
“Kenapa enggak,
misalnya pemerintah mulai memikirkan opsi pajak super progresif untuk
kepemilikan mobil, barang mewah, hingga aset usaha seperti gedung perkantoran, pabrik, dan sebagainya,” jelasnya.
“Masa iya konglomerat
yang hanya punya satu gedung dan 10 gedung bayarnya sama? Punya rumah mewah satu dan 10 bayarnya sama? Maka
jangan protes kalau di perkotaan terjadi macet karena orang kaya sangat mudah
untuk beli mobil,” tambahnya.
Yudhie berpendapat harus ada perubahan strategi dalam pendanaan APBN yang dilakukan Presiden Jokowi. Tak hanya soal pajak super progresif, pemerintah diminta tak lagi mengandalkan pendanaan konvensional dalam menggenjot pembangunan infrastruktur.
Atas dasar
kedaulatan negara, pemerintah bisa saja menugaskan Bank Indonesia (BI) untuk
mencetak sejumlah uang baru sesuai kebutuhan tanpa harus mengganggu likuiditas
uang yang telah tersedia di pasar.
“Siapa bilang (BI) tidak bisa (mencetak uang
untuk pembiayaan infrastruktur)? Kalau soal diprotes oleh negara lain, ya itu
sudah pasti, tapi apakah bisa? Secara ilmu ekonomi bisa saja itu dilakukan asal
uangnya benar-benar dipakai hanya untuk pembangunan (infrastruktur) dan setelah
usai harus ditarik lagi sehingga tidak membanjiri pasar sampai terjadi
inflasi,” ungkap Yudhie.
Ia sadar cara-cara out of the box ini akan dianggap sebagian pihak mengganggu stabilitas perekonomian nasional. Namun baginya, fakta saat ini bukan perekonomian negara yang terancam, melainkan pihak-pihak yang mempermasalahkan itulah berpotensi kehilangan ladang untuk mendapatkan keuntungan.
“Karena dengan cara-cara konvensional, perbankan dapat untung dari pembiayaan ke BUMN infrastruktur. Investor besar diuntungkan karena pemerintah jadi merasa perlu menerbitkan SUN (Surat Utang Negara). Mereka-mereka ini yang membangun persepsi seolah cara-cara pendanaan konvensional adalah satu-satunya jalan keluar. Itu salah besar,” pungkas Yudhie. (wip)
Sumber: Rmol.id