JAKARTA, (IslamToday ID) – Peneliti hubungan internasional dari Universitas Diponegoro (Undip) Mohammad Rosyidin menilai Indonesia berada pada posisi dilematis dalam merespons isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang menimpa etnis muslim Uighur di Xinjiang, China.
Menurut Rosyidin,
terjadi tarik menarik antara kepentingan nasional dengan
identitas Indonesia sebagai negara muslim terbesar dan pencipta perdamaian.
“Pasifnya Indonesia bisa dipahami dalam perspektif kepentingan nasional.
Indonesia punya hubungan erat dalam hal ekonomi dengan China, khususnya dalam
bingkai OBOR (one belt one road). Tapi tentu Indonesia merasa terpanggil
karena identitasnya tadi,” katanya, Minggu (22/12/2019).
Lebih lanjut, Rosyidin menjelaskan, meski pemerintah Indonesia telah melakukan soft approach kepada pemerintah China, tidak jelas seperti apa hal tersebut dilakukan.
“Menurut saya, Indonesia
jangan pakai pendekatan asertif dalam kasus ini. Jangan bawa isu ini ke ranah
internasional. Jangan pakai strategi naming & shaming. Yang
bisa dilakukan Indonesia hanya memastikan tidak ada aksi-aksi di luar batas
saja,” ujarnya.
Langkah tersebut dinilai tepat dilakukan karena
persoalan Uighur adalah masalah pelik yang menyangkut kedaulatan negara.
Indonesia perlu mengarahkan diplomasi pada penyamaan persepsi bahwa Islam bukan
agama teroris. Dengan demikian, tidak menimbulkan ekses seperti penahanan secara massal, penyiksaan, dan
lain sebagainya.
Cara-cara silent diplomacy yang diterapkan Indonesia untuk isu Rohingya di Myanmar juga tidak relevan untuk kasus Uighur. “Beda konteks. Myanmar percaya sama Indonesia, makanya kita bisa masuk. Kalau China kan dia super power, saya kira Indonesia kalah dalam bargaining position-nya,” ungkap Rosyidin.
Agama Faktor Kebetulan
Rosyidin menambahkan persoalan yang menimpa etnis Uighur bukan didasari oleh agama, melainkan politik. Ia menguraikan bahwa Xinjiang yang merupakan daerah otonomi Uighur, merupakan wilayah China yang berbatasan langsung dengan Asia Tengah.
Secara identitas, muslim Uighur faktanya merasa lebih dekat dengan kultur Turki-Asia Tengah. Nasionalisme mereka pun lebih condong ke arah sana. Sementara, pemerintah China getol melawan potensi gerakan separatis yang mengganggu stabilitas nasional.
“Kita tahu China
adalah negara komunitas yang sangat sentralistis. Jadi mereka (China) akan
menindak keras siapa saja yang terindikasi separatis,” ungkap Rosyidin.
Bukan hanya pada etnis Uighur, China pun pernah
melakukan hal yang sama dengan menindas komunitas Falun Gong yang merupakan
umat Buddha, lalu juga ada invasi yang dilakukan oleh China ke Tibet. Dan saat
ini, hal yang menimpa Hongkong pun berpusat pada persoalan yang serupa. “Jadi intinya ini soal politik. Agama hanya
jadi faktor kebetulan saja,” ujar Rosyidin.
Sedangkan mengenai isu HAM, Rosyidin yang kerap
menulis jurnal mengenai kebijakan luar negeri China ini mengatakan, konsep HAM
China berbeda dengan perspektif dari Barat.
Filosofi Konfusian, terangnya, lebih berperan dalam isu ini, sehingga kekerasan dilegitimasi sejauh untuk menjaga ketertiban. “Itulah sebabnya China menyangkal dianggap melanggar HAM,” pungkas Rosyidin. (wip)
Sumber: Rmol.id