JAKARTA, (IslamToday ID) – Cendekiawan muslim, Azyumardi Azra menilai langkah-langkah soft diplomacy Indonesia terhadap China terkait nasib muslim Uighur belum tampak. Meski pemerintah Indonesia sudah mengatakan akan melakukan soft diplomacy atau pendekatan sosial dan budaya kepada pemerintah China.
“Jadi harus lebih konkret dan jelas, selama ini diplomasi itu justru dimainkan ormas-ormas Islam,” kata Azyumardi di kantor MUI Pusat usai Rapat Pleno Wantim MUI ke-46, Kamis (26/12/2019).
Ia menyampaikan ormas-ormas Islam telah mendatangi dan melihat wilayah Xinjiang, tempat etnis Uighur. Kemudian ormas-ormas Islam memberi catatan kepada pemerintah China melalui Kedutaan Besar China di Indonesia.
Maka sekarang pemerintah Indonesia harus aktif melakukan diplomasi. Tentu bukan dalam bentuk diplomasi keras. Jadi kalau ada yang menuntut Indonesia memutuskan diplomasi dengan China, menurutnya, hal tersebut tidak tepat. “Tapi saya belum lihat bahwa pemerintah Indonesia memainkan peran lebih aktif dalam hal ini,” ujarnya.
Azyumardi menyarankan Indonesia untuk melakukan diplomasi terhadap China. Jadi Indonesia harus membuka ruang agar bisa berdialog dengan pemerintah China. Setelah itu, lihat apa yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia lebih jauh.
Menurutnya, menteri luar negeri Indonesia perlu mengadakan pertemuan bilateral dengan menteri luar negeri negara lain. Setelah itu melangkah ke tingkat yang lebih tinggi. “Yang jelas dilangsungkan dulu pertemuan dengan mereka (menteri luar negeri), nanti bisa mempertanyakan berbagai hal soal Uighur itu,” jelasnya.
Supaya tidak mencampuri urusan negara China, Azyumardi menyarankan pemerintah Indonesia harus hati-hati. Sebab prinsip Indonesia tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain.
“Tapi saya kira bisa melalui cara-cara dan diplomasi tertentu. Buktinya di Myanmar juga Indonesia bisa melakukan usaha-usaha untuk memperbaiki keadaan kaum muslim di sana,” ujarnya.
Sementara itu, organisasi Islam yang menjadi wadah resmi seluruh habaib di Indonesia, Rabithah Alawiyah mengkritik sikap pemerintah China dan Amerika terkait isu penindasan terhadap muslim Uighur.
Ketua Umum Rabithah
Alawiyah, Habib Zen Bin Smith menegaskan pada prinsipnya Rabithah mengutuk
segala bentuk kekerasan yang dilakukan manusia kepada manusia lain. Apalagi
jika kekerasan itu dilakukan oleh negara.
Karenanya, Rabithah meminta pemerintah China agar menunjukkan
komitmennya dalam menjaga hak beribadah umat muslim di Uighur. Rabithah meminta
pemerintah Indonesia agar mengambil langkah diplomatik yang diperlukan untuk
menjamin nasib muslim Uighur. Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di
dunia, Rabithah menilai pemerintah Indonesia punya tanggung jawab moral terkait
nasib muslim di berbagai wilayah, termasuk Uighur atau Palestina.
“Rabithah Alawiyah
menyatakan mengutuk keras segala tindakan penekanan hak asasi manusia dan
meminta kepada pemerintah Indonesia
untuk segera mengambil langkah-langkah diplomatik yang diperlukan bagi penyelamatan
kelompok muslim di Uighur,” ujar Habib Zen.
Inkonsistensi Amerika
Dalam kesempatan itu, Habib Zen juga mengkritisi pemerintah China yang terkesan
tertutup dalam memberi akses informasi pada dunia internasional terkait nasib
muslim Uighur. Rabithah meminta pemerintah China agar transparan
memberikan informasi soal nasib Uighur. Ini guna mencegah dimanfaatkannya isu
ini untuk kepentingan politik negara tertentu.
Terkait hal itu, Rabithah juga mengkritisi sikap inkonsisten
pemerintah Amerika yang tampak begitu vokal atas isu Uighur di China, namun mendukung aksi zionisme Israel
yang telah menewaskan banyak nyawa muslim Palestina.
Menurutnya, sikap
inkonsisten ini perlu dikritisi secara serius. Karenanya, Rabithah
mempertanyakan motif Amerika dalam menyuarakan nasib muslim di sejumlah negara.
“Kami tidak ingin isu
soal nasib umat muslim ini justru dimanfaatkan sebagai komoditas politik negara
tertentu,” kata Habib Zen.
Sesuai dengan semangat Mukaddimah UUD 1945, kata Habib Zen,
menyatakan komitmen Indonesia membela kemerdekaan adalah hak mendasar manusia.
Atas amanat konstitusi itu maka sudah selayaknya pemerintah Indonesia
mengesampingkan
pertimbangan politik, bisnis, atau ekonomi dalam merespons kasus kemanusiaan.
“Kita (bangsa
Indonesia) mesti mendahulukan komitmen bangsa ini ketika meraih kemerdekaan
tahun 1945 untuk memperjuangkan terwujudnya kemerdekaan hidup dan damai di muka bumi ini
melalui diplomasi yang bebas dan aktif,” kata Habib Zen. (wip)
Sumber: Republika.co.id