JAKARTA, (IslamToday ID) – Indonesia menolak dengan tegas klaim China yang mengaku memiliki kedaulatan atas perairan di dekat Kepulauan Nansha, Laut China Selatan yang berbatasan langsung dengan Laut Natuna.
Wilayah yang diklaim oleh China itu masih merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Sehingga klaim historis China soal perairan tersebut tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh hukum internasional.
“Klaim historis China atas ZEE Indonesia dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982,” demikian disampaikan pihak Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kamis (2/1/2020).
Indonesia mendesak China untuk menjelaskan dasar hukum dan batas-batas yang jelas perihal klaimnya di ZEE Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982.
Terkait istilah “perairan terkait atau relevant waters” yang digunakan China untuk merujuk pada wilayah di sekitar perairan yang mereka klaim di Laut China Selatan, Kemlu menekankan pemerintah Indonesia menolak dengan tegas istilah tersebut. Istilah “perairan terkait” tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982.
Sebelumnya, Indonesia memprotes kapal ikan China yang memasuki perairan Natuna secara ilegal. China menolak protes itu dan menganggap Indonesia telah menuduhnya. Dalam penolakan itu, China menegaskan bahwa negaranya memiliki hak kedaulatan atas Kepulauan Nansha di Laut China Selatan dan perairan sekitarnya yang berbatasan langsung dengan Natuna.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang menegaskan, China memiliki hak historis di Laut China Selatan. Sejak dahulu, para nelayannya telah lama melaut dan mencari ikan di perairan itu dan dekat Kepulauan Nansha.
Perairan Natuna
menjadi jalur utama perdagangan internasional. Sehingga klaim China tersebut
juga menyinggung negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam,
Malaysia, dan Brunei.
Indonesia mendukung kode etik Laut China Selatan segera
diterapkan sebagai pedoman negara-negara bertindak di perairan kaya sumber daya
alam tersebut demi mencegah konflik.
Sementara itu, dosen hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Teguh Santosa mengatakan pelanggaran ZEE Indonesia oleh China hanya bisa dihentikan bila pemerintah serius memperjuangkan Laut Natuna Utara.
Selama perairan di wilayah Indonesia dari kawasan Pulau Natuna sampai Bangka Belitung masih menggunakan nama Laut China Selatan, selama itu pula China akan besar kepala karena merasa memilik “hak sejarah” atas perairan itu.
Teguh mengatakan, sikap pemerintah
Indonesia dalam hal ini Kemenlu memanggil Dubes China di Jakarta, Xiao
Qian, untuk dimintai keterangan sudah tegas dan tepat.
Namun menurut Teguh, yang pernah menjadi Kabid Luar Negeri Pemuda Muhammadiyah, langkah
ini kelihatannya masih kurang efektif untuk menghentikan agresivitas China di Laut China Selatan di masa depan yang bisa mengancam
integritas teritori dan kedaulatan Indonesia.
Indonesia memang bukan satu-satunya negara yang terlibat dalam sengketa di Laut China Selatan. Sengketa di kawasan yang oleh China
diklaim dengan menggunakan sembilan garis putus atau dashed line itu terjadi antara China dengan negara-negara ASEAN
yang lain Malaysia, Filipina,
Vietnam, dan Brunei
Darussalam. (wip)
Sumber: Rmol.id