(IslamToday ID) — Seratus hari kerja Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, dinilai penuh polemik terutama rentetan kebijakan kontroversialnya. Bayangkan saja usai melakukan pencabutan subsidi kesehatan dengan menaikkan iuran BPJS, kemudian disusul pencabutan subsidi listrik, subsidi pupuk, dan kini pemerintah serius hendak mencabut subsidi gas LPG 3 kg.
Meskipun hingga pertengahan Januari belum ada kepastian terkait skema pencabutan subsidi-subsidi tersebut. Namun yang pasti pemerintah berencana mencabut subsidi pada kuartal pertama hingga akhir tahun 2020 nantinya.
Merunut Kebijakan LPJ 3 Kg
LPG 3 kg, ide awalnya merupakan kebijakan pengalihan subsidi minyak tanah ke gas yang dilakukan pada masa pemerintahan SBY-JK. Ide awal konversi minyak tanah ini tidak dengan LPG 3 kg melainkan dengan batu bara. Namun, pada pertengahan tahun 2006, Jusuf Kalla sebagai wakil presiden mengumumkan bahwa rencana konversi minyak tanah ke batu bara dibatalkan dan diganti dengan gas LPG 3 kg.
Tahun 2007 pemerintah lantas membuat Perpres No 104 Tahun 2007 mengatur penyediaan, pendistribusian, dan penetapan harga gas LPG 3 kg. Selanjutnya di tahun yang sama pemerintah melakukan distribusi paket kompor dan tabung gas 3 kg ke seluruh Indonesia. Total hingga tahun 2018 ada 57,29 juta paket kompor gas dan tabung gas yang sudah didistribusikan oleh Pertamina.
Berbagai permasalahan pada masa transisi subsidi minyak tanah ke gas. Permasalahan yang muncul terkait kualitas paket kompor gas dan tabung, ditemukannya kerusakan fisik pada regulator, selang gas, yang berujung pada banyaknya kasus gas meledak. Pada masa uji coba penggunaan gas melon, korban ledakan gas melon bisa mengajukan klaim kepada Pertamina. Hingga tahun 2010, Pertamina mengaku telah mengeluarkan anggaran Rp 3 miliar untuk korban ledakan gas melon di seluruh Indonesia.
Hal yang mencengangkan proses konversi minyak tanah ke gas belum selesai hingga periode Jokowi-JK selesai. Terutama, untuk daerah luar Jawa, seperti yang terjadi di kota Gunungsitoli, Nias. Walikota Gunungsitoli, Lakhomizaro Zebua pada Februari 2019 bahkan terpaksa melayangkan surat kepada pemerintah untuk menunda penarikan minyak tanah hingga Juni 2019. Ironisnya, hingga September 2019, belum semua warga Kota Gunungsitoli mendapatkan paket gas melon. Dan kini sungguh ironis saat pemerintah kemudian hendak mencabut subsidi yang baru pada tahap uji coba di Nias.
Pelaksanaan konversi minyak tanah ke gas bukan hal yang mulus tanpa hambatan, selain karena harga gas dinilai lebih mahal dari minyak tanah juga karena banyak kasus meledaknya tabung gas di daerah-daerah. Hampir setiap hari muncul berita ledakan gas melon, sejak saat itu masyarakat menilai bahwa gas LPG 3 kg membahayakan keselamatan mereka. Hingga tahun 2011 YLKI menyerukan kepada masyarakat untuk menolak konversi minyak ke gas.
Tumpang Tindih Peraturan
Pada tahun 2015 produksi gas LPG 3 kg mencapai 5.567.308 metrik ton. Pada tahun yang sama pula pemerintah menaikan harga LPG 12 kg, dari Rp 129.000 menjadi Rp 134.000. Banyak pelanggan gas LPG 12 kg beralih ke gas LPG 3 kg. Akibatnya, tabung gas melon menjadi langka dan harganya naik melebihi harga eceran tertinggi (HET) Rp 16.000,00 harga jual gas melon mencapai Rp 25.000,00.
Naiknya gas LPG 12 kg pada 1 April 2015 pun secara tiba-tiba alias tanpa sosialisasi kepada masyarakat. Presiden Jokowi menaikan harga gas LPG 12 kg sebanyak dua kali, pertama Januari 2015 harga gas naik menjadi Rp 134.000,00 dari Rp 129.000,00. Lalu di bulan April harga gas LPG 12 kg naik menjadi Rp 142.000,00.
Bahkan pada tahun 2015 pemerintah mengeluarkan Perpres No. 126 Tahun 2015 yang mengatur distribusi gas melon untuk para nelayan kecil. Sejak saat itu pembagian paket Konverter Kit (Konkit) LPG gas 3kg mencapai 60.859 paket, yang terbagi 5.473 (2016), 17.081 (2017, 25.000 (2018) dan 13.305 (2019). Pada tahun 2020 ini pemerintah akan menganggarkan Rp 432,5 milar untuk 50.000 paket Konkit.
Peraturan distribusi gas LPG 3 kg yang belum jelas membuat semua masyarakat memburunya karena dinilai lebih murah. Secara regulasi pemerintah juga belum serius melaksanakan peraturan yang dibuatnya seperti Perpres No. 104 Tahun 2007 Pasal 3 Ayat 1 misalnya hanya menulis “Penyediaan dan penyediaan distribusi LPG tabung 3 kg hanya diperuntukan bagi rumah tangga dan usaha mikro”. Perpres ini baru diikuti oleh aturan tambahan pada Permen ESDM No 26 Tahun 2009.
Tak Meratanya LPJ 3 Kg, Skema BLT ?
Pada awal periode kepemimpinannya yang kedua, tepatnya akhir tahun 2019 kemarin, pemerintah memutuskan akan mencabut subsidi gas LPG 3 kg. Padahal pemerintah baru saja selesai melakukan pemerataan gas LPG 3 kg. Pemerintah pun baru saja akan menarik minyak tanah dari peredaran, terutama bagi mereka yang baru saja menerima program subsidi gas LPG 3 kg.
Alasan klasik yang selalu digaungkan oleh pemerintah adalah program tidak tepat sasaran. Ironisnya anggaran subsidi gas melon setiap tahunnya mengalami perubahan (2015-2020): Rp 25,9 T (2015), Rp 24,9 T (2016), Rp 38,7 T (2017), Rp 58,1 T (2018), Rp 58 T (2019) dan Rp 54,4 T (2020). Selain menurunkan subsidi pada tahun 2020 ini, Presiden Jokowi juga menyetop impor minyak dan gas.
Subsidi gas LPG 3 kg di Indonesia hingga periode Jokowi belum tersebar merata. Alhasil, pada tahun 2016 hingga 2017 distribusi gas di Sumbawa, NTB baru selesai dilakukan. Bahkan masyarakat Nias, Sumatera Utara baru menerima paket kompor gas dan tabung gas pada 6 Desember 2018. Pada saat itu pemerintah membagikan 150.318 paket gas LPG 3kg di Nias.
Sementara itu tujuh provinsi menjadi pilot project untuk sistem transaksi non tunai, Sumatera Barat, Banten, Sulawesi Utara, Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Masyarakat Sumatra Barat bahkan harus menerima kenyataan bahwa keberadaan gas LPG 3 kg sudah langka sejak tahun 2018. Sejak saat itu masyarakat Sumatra Barat terpaksa untuk menggunakan menggunakan tabung gas 5,5 kg yang non subsidi karena pengajuan penambahan gas LPG 3 kg tidak digubris oleh pemerintah pusat.
Selain mendapat perlakuan yang tidak adil dalam penerimaan distribusi gas LPG 3 kg, warga Sumbar pun mau tidak mau harus menggunakan sistem bayar cashless payment atau transaksi non tunai. Pada Agustus 2019 sudah 16 ribu dari 21 ribu pangkalan gas di Sumatra Barat menggunakan sistem transaksi non tunai. Pertamina mengklaim program ini memberikan kepastian kepada konsumen tentang keamanan stok gas LPG 3 kg. Selain itu monitoring terhadap distribusi pun bisa terkontrol oleh Pertamina melalui Sistem Monitoring Penyaluran LPG 3kg (Simol3k) Pertamina.
Pertamina bahkan mewacanakan transaksi non tunai untuk transaksi di SPBU seluruh Indonesia pada tahun 2020. Konon metode ini diklaim lebih aman untuk penyaluran berbagai subsidi energi yang disalurkan oleh Pertamina seperti program subsidi solar. Melalui transaksi non tunai yang terprogram digital ini pemerintah pun bermaksud membatasi jumlah pembelian BBM. Jika sudah melebihi batas kuota pembelian maka secara otomatis konsumen tidak bisa menambah kuota konsumsi BBM.
Kegiatan cabut subsidi gas LPG 3 kg rencananya akan diimbangi dengan program bantuan tunai sebagai mana program Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada masa pemerintahan SBY pada tahun 2005 dan tahun 2008. Problem BLT saat itu ialah validitas data yang digunakan oleh pemerintah. Besaran BLT Rp 100.000 setiap bulannya itu diberikan selama 12 bulan dengan periode waktu 3 bulan sekali (2005) dan 3 hingga 4 bulan sekali selama 7 bulan (2008). Jika dulu pemerintahan SBY hanya berani menganggarkan subsidi per bulan Rp 100.000 bagaimana besaran subsidi yang berani ditanggung pemerintahan Jokowi sekarang?
Selain rentan salah sasaran program BLT subsidi gas LPG 3 kg ini juga belum jelas skema programnya. Data sensus penduduk BPS baru dimulai pada Februari nanti dan baru akan selesai pada Juli 2020. Tentu program ini akan sangat rentan penyimpangan dan salah sasaran seperti klaim pemerintah terhadap program subsidi pemerintah yang sudah-sudah.
Tahun 2020 pemerintah bercita-cita “memasyarakatkan” transaksi non tunai untuk semua program subsidinya, misalnya program transaksi subsidi gas ber-barcode yang bekerja sama dengan perbankan. Masyarakat dipaksa menggunakan sistem cashless payment untuk mengakses layanan kebutuhan primer. Apakah program BLT untuk subsidi gas juga akan tetap menerapkan sistem tunai? Bagaimana tingkat keamanan penyaluran nantinya?.
Penulis: Kukuh Subekti