JAKARTA, (IslamToday ID) – Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas menyatakan konsep pembangunan kawasan inti ibukota baru baru mirip dengan Kota Manhattan, Amerika Serikat (AS). Total kawasan ibukota baru seluas 256.142,74 hektare, sedangkan kawasan intinya akan dibangun di atas lahan seluas 56.189,87 hektare.
“Jadi di daerah yang 56.000-an hektare yang saya bilang seperti
Manhattan kecil, paling tidak 50 persen itu tetap sebagai kawasan inti ibukota baru akan dibangun ruang terbuka hijau (RTH),” ungkap
Deputi Bidang Pengembangan
Regional Bappenas, Rudy Soeprihadi Prawiradinata,
Selasa (11/2/2020).
Menurutnya, di kawasan inti ibukota negara
baru akan dibangun gedung-gedung pencakar langit dan blok-blok perkotaan. Di
luar kawasan inti, pemerintah menargetkan 70 persen-75 persen masuk sebagai
RTH.
“Nanti di luar kawasan inti, ada Tahura
Bukit Soeharto yang dikelola di
sekitaran total 256.000 hektare yang berlokasi di Kabupaten
Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara,” ucap Rudy.
Sementara, Menteri PPN/Bappenas Suharso Monoarfa
mengatakan pemerintah akan mengembalikan fungsi
hutan di kawasan ibukota negara baru.
“Kita tidak bangun hutan beton, 30 persen saja mungkin. Kalau
di Jakarta per 1 hektare 50 orang, di sana
20-an orang per hektare. Banyak daerah kita biarkan, kembalikan fungsi hutan
seperti semula,” katanya.
Hal tersebut termasuk Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit
Soeharto yang menurutnya akan dikembalikan ke fungsi kawasan hutannya. “Jadi banyak aspek lingkungan hidup menjadi
bagian utama untuk menyusun detail rencana untuk ibukota negara,” ujarnya.
Aspek lingkungan hidup dan keberlanjutan menjadi pertimbangan
karena hampir seluruh mata di dunia melihat ke Indonesia. “Apakah mampu, kalau
pindah terus seperti apa? Low carbon development, apakah bagian pertimbangannya atau
pertimbangannya biasa saja,” kata Suharso.
Pendapat pesimistis tersebut patut dihargai dan dijadikan
pemacu Indonesia agar mampu menunjukkan ke dunia bahwa memang bisa. Ia
mengemukakan banyak hal di ibukota negara
baru yang
harus disesuaikan dengan kemajuan masa depan.
“Pemerintah juga tidak mau pembangunan justru memunculkan kesenjangan
di wilayah lain. Tetapi justru menjadi trendsetter ramah lingkungan, zero carbon
development, keberlanjutan, co-working
space di mana-mana, orang kerja dengan gaya baru tapi dengan
produktivitas tinggi,” jelasnya.
Suharso juga menyebut sudah ada delapan negara berminat untuk berinvestasi di ibukota negara baru. Kedelapan negara tersebut adalah AS, Inggris, Jerman, China, Singapura, Italia, Denmark, dan Uni Emirat Arab (UEA). Saat ini pemerintah masih mengkaji skema yang ditawarkan dari beberapa negara tersebut.
“Kita harus lihat skema yang mereka tawarkan, baik untuk kepentingan mereka sendiri dan untuk kepentingan kita. Jangan sampai kita menawarkan sesuatu yang tidak proper untuk mereka. Nanti mereka kecewa, kita juga ikut kecewa,” ungkapnya.
Suharso menambahkan, saat ini investasi Indonesia masih menarik bagi asing apalagi pemerintah sudah mendesain berbagai kebijakan fiskal. Pemerintah juga berupaya memperbaiki sistem perizinan yang selama ini dinilai rumit oleh investor.
“Insentif kita itu kan hanya insentif fiskal. Selain kita juga sediakan, misalnya kemudahan perizinan, kemudian lahan. Saya kira itu,” katanya.
Suharso menyebut aturan ibukota negara baru sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR. Adapun rancangan undang-undang akan segera dikirimkan ke DPR dalam waktu dekat dan pembahasannya diharapkan rampung tiga bulan. (wip)
Sumber: Republika.co.id, Antaranews.com