JAKARTA, (IslamToday ID) – Omnibus law yang dibanggakan pemerintah terus membuat kejutan. Kali ini terkait Presiden Jokowi yang akan diberi kewenangan mengubah UU lewat Peraturan Pemerintah (PP). Padahal sesuai aturan, yang berhak mengubah UU adalah DPR-Presiden atau lewat Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu).
Regulasi di atas tertuang dalam BAB XIII Ketentuan Lain-lain RUU Cipta Kerja. Dalam Pasal 170 ayat 1 disebutkan Presiden berwenang mengubah UU.
“Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini,” demikian bunyi Pasal 170 ayat 1.
Pasal 4 RUU Cipta Kerja mengatur mengenai kebijakan Cipta Kerja. Yaitu:
- peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
b. peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja;
c. kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM serta perkoperasian; dan
d. peningkatan investasi pemerintah dan percepatan proyek strategis nasional.
“Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah,” demikian bunyi pasal 170 ayat 2.
Anehnya, PP adalah mutlak kewenangan eksekutif. Namun dalam omnibus law, penyusunan PP dilakukan dengan konsultasi bersama DPR.
“Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,” demikian bunyi Pasal 170 ayat 3.
Pendiri Lingkar Madani, Ray Rangkuti mempertanyakan wewenang Presiden Jokowi bisa mengubah UU melalui PP.
“Nah kan, itu dia kan, sebenarnya kacau sekali. Di satu segi kita mau memperkuat konstitusi, namanya GBHN-lah, apalah. Tapi kok kita membiarkan, di mana ada di republik aturan presiden bisa mengubah undang-undang? Jadi eksekutif bisa mengubah aturan yang dibuat bersama rakyat,” ujar Ray.
Ia menilai rencana tersebut akan memberikan peluang kepada Jokowi untuk bersikap otoriter. Apabila undang-undang itu disahkan, Ray kemudian mempertanyakan tugas Mahkamah Konstitusi (MK).
“Ya kalau dari aspek legal formal, ya otoriter. Artinya, undang-undang bisa dibatalkan oleh presiden. Itu otoriter. Lalu MK apa lagi gunanya?” cetus Ray.
“Nggak perlu lagi pengujian undang-undang. Apakah undang-undang itu bertentangan dengan konstitusi atau tidak? Nggak perlu MK, cukup dibuat oleh presiden, aturannya selesai,” tambahnya.
Ray menegaskan aturan itu bisa membuat Indonesia tak lagi menjadi negara yang demokratis. Dalam sebuah negara demokrasi, aturan dibuat bersama, bukan hanya oleh presiden.
“Apakah itu negara demokratis? Ya jelas tidak demokratis. Salah satu prinsip negara demokratis itu adalah aturan dibuat secara bersama,” jelasnya.
Lebih lanjut Ray menuturkan, Jokowi bisa saja membuat aturan, tetapi hanya mengatur dirinya sendiri. Namun, untuk kepentingan publik, publik juga turut serta dalam penyusunan undang-undang itu.
“Kecuali yang mengatur dirinya sendiri, presiden mengatur dirinya sendiri, dia buat Perpres, dia buat Keppres, itu boleh. Tapi aturan yang berhubungan dengan kepentingan publik harus melibatkan publik,” ucap Ray.
Ia melanjutkan UU adalah aturan yang melibatkan publik serta dibuat berdasarkan kehendak publik. Apabila Jokowi bisa mengubah undang-undang, Ray menilai Jokowi melawan kehendak publik.
“Undang-undang itu adalah aturan yang melibatkan publik, dibuat berdasarkan kehendak publik. Undang-undang itu bisa dibatalkan secara eksklusif oleh presiden sendiri. Ya artinya presidennya melawan kehendak publik, kalau dalam konteks itu ya. Nah itu menjadi kekacauan. Ya oleh karena itu, saya pribadi menolak omnibus law itu,” pungkasnya. (wip)
Sumber: Detik.com, Rmol.id